Senin, 10 Juni 2013

Tribuana (Bagian 10, Batara Kala)

Tribuana (Bagian 10, Batara Kala)

Gelombang air laut bergulung-gulung disertai suaranya yang membahana di perairan samudra. Gelombangnya menderu dan menghempas tepian serasa ingin memecahkan batu-batu karang yang berjajar menghalangi. Nun jauh di dasar samudra telah terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan kehidupan alam di bawah laut. Ya! Rahsa (Kama) yang salah, yang terjadi atas perbuatan Sanghyang Jagatnata saat ingin melambangkan asmara kepada Dewi Uma itu kini menjelma menjadi sosok bayi raksasa yang kian hari kian bertambah besar pertumbuhannya. Jelas sudah bahwa bayi raksasa itu tidak berasal dari persemayaman rahim dewi Uma, tetapi samudralah yang menjadi persemayaman rahimnya. Ia hidup dan dibesarkan dari perburuan yang ditangkapnya dari kehidupan satwa laut.

Syahdan di kahyangan Mutiara yang terletak di dasar Samudra, Sanghyang Baruna yang telah mendapat laporan dari para rakyatnya yang berasal dari bangsa satwa laut, bahwa di perairan samudra telah terjadi perusakan yang dilakukan oleh sesosok bayi raksasa yang setiap hari selalu memangsa satwa-satwa laut hingga tubuhnya menjadi bertambah besar. Mendengar pengaduan rakyatnya, Sanghyang Baruna merasa khawatir kalau-kalau nanti lama kelamaan rakyatnya akan habis dijadikan santapan si raksasa, maka ia pun segera menghadang si raksasa yang sedang memburu ikan-ikan di dasar lautan. Perang tanding terjadi antara Hyang Baruna dengan raksasa muda yang bertubuh tinggi besar. Hyang Baruna mengeluarkan segala macam kesaktian dan pusaka-pusakanya untuk dapat menaklukan si raksasa, namun kesaktian dan pusaka Hyang Baruna tidak mampu membinasakan si raksasa. Tubuhnya sangat kekar dan kuat, kebal walau dihujani senjata-senjata pusaka. Merasa tidak sanggup membinasakannya, Hyang Baruna pun segera melesat ke permukaan laut dan terus terbang menuju kahyangan Suralaya. Sanghyang Jagatnata untuk mengamankan kehidupan rakyatnya di dasar laut. Dihadapan Sanghyang Jagatnata, Hyang Baruna menceritakan kejadian yang dialami rakyatnya di dasar laut. Ia meminta bantuan Hyang Jagatnata untuk menangkap dan membinasakan raksasa tersebut.

Sanghyang Jagatnata memerintahkan Batara Narada untuk mengerahkan pasukan kadewatan Suralaya dalam membantu Hyang Baruna dengan tujuan membinasakan raksasa yang telah dianggap membuat kekacauan di dasar samudra. Batara Narada segera memanggil Batara Brahma, Indra dan Bayu untuk memimpin pasukan kadewatan. Mereka lalu melesat menuju samudra, namun sebelum mereka terjun ke dasar samudra, mereka dikejutkan oleh sosok tinggi besar yang sedang memburu manusia di daratan, yang setelah tertangkap lalu dimakannya hidup-hidup. Ternyata sosok tinggi besar yang tidak lain adalah raksasa ganas yang baru saja bertempur dengan Hyang Baruna, sebenarnya telah melakukan pengejaran terhadap raja satwa laut itu, sehingga ia kini berada di daratan dan mulai memangsa mahluk-mahluk hidup yang ada di daratan. Melihat kejadian tersebut, Batara Narada yang setelah diberi tahu oleh Hyang Baruna, bahwa sosok tinggi besar itulah yang telah membuat kerusakan di alam bawah laut, maka Hyang Narada memerintahkan pasukan para dewa untuk segera mengepung, menangkap dan membunuhnya.

Dari atas angkasa pasukan dewata secara serentak menggempur si raksasa. Hujan pukulan, tusukan dan sabetan senjata-senjata para dewa menghunjam secara bertubi-tubi. Akan tetapi sungguh dahsyat raksasa itu, jangankan hancur lumat, sedikit pun tubuhnya tidak cidera oleh pusaka dan berbagai macam pukulan sakti para dewa. Sebaliknya, si raksasa balas menyerang dan mengamuk membuat pasukan bala tentara kadewatan porak poranda. Banyak pasukan dewa yang jatuh terpelanting dan terpental jauh oleh terjangan serangan si raksasa. Pertempuran itu ibarat seperti manusia dengan capung-capung yang mengelilinginya.
Diantara awan yang berarak, Batara Indra segera membidikan pusaka Chandrasa ke arah si raksasa. Panah melesat disertai suara bagaikan halilintar menggelegar menghantam tepat pada sasarannya. Reksa Denawa itu jatuh terpelanting oleh pusaka Indra, namun dengan tertatih-tatih ia kembali mencoba berdiri, dan sebelum ia bisa berdiri dengan tegak, Batara Bayu sudah menerjangnya dari angkasa. Si raksasa pun kembali jatuh terbanting diantara bebatuan cadas menimbulkan suara bergemuruh seperti longsornya sebuah bukit. Batara Bayu dengan cepat menerjang dan memukulkan Pancanakanya yang berkilat. Kuku sakti Bayu yang menurut cerita dapat merobohkan gunung sekalipun itu menghunjam tubuh si raksasa secara bertubi-tubi, namun memang sangat luar biasa tubuh raksasa itu sangat kebal sehingga Pancanaka Batara Bayu seperti tidak memiliki tuah. Raksasa itu sangat marah, ia pun bangkit dan melakukan perlawanan kepada Batara Bayu. Mereka saling tangkap, saling dorong dan saling banting. Tubuh keduanya tidak seimbang, si raksasa tubuhnya jauh lebih besar dari Batara Bayu. Walau Batara Bayu memiliki kekuatan Bayubajra, tapi si raksasa dengan kuat dapat menandinginya. Ia pun dapat melemparkan Batara Bayu hingga jatuh terpental. Batara Bayu segera mengeluarkan daya kesaktiannya berupa aji saipiangin, seketika angin topan praha keluar dari tubuh Batara Bayu dan menghantam musuhnya. Si raksasa tidak kalah hebat, pukulan angin topan Batara Bayu ditabraknya hingga angin itu menghantam tuannya sendiri. Batara Bayu terpental jauh terhantam pukulannya sendiri. Batara Brahma tidak tinggal diam, ia bertiwikrama hingga tubuhnya mengeluarkan api dahsyat yang kian bertambah besar kobarannya. Api itu lalu dipukulkannya ke arah si raksasa. Tidak kalah hebat si raksasa pun mengeluarkan api dari mulutnya sehingga dua pukulan sakti yang berupa api beradu di udara. Dua kekuatan dahsyat yang saling bertabrakan itu menggelegar, panasnya menghampar di permukaan bumi. Batara Brahma sendiri sempat tersurut mundur menghindari panasnya.
Dalam keadaan masih diliputi amarah, Batara Brahma hendak mengeluarkan lagi kesaktiannya, namun ketika itu Batara Narada segera mencegahnya. Narada meminta Brahma, Indra, Bayu dan seluruh pasukan kadewatan agar ditarik mundur kembali ke Suralaya. Sebab menurut Batara Narada percuma menghadapi raksasa itu, ia sangat tangguh, tidak cidera oleh pusaka dan kesaktian para dewa. Maka, seluruh pasukan kadewatan segera melesat terbang kembali menuju Suralaya. Si raksasa yang sudah terlanjur murka tidak membiarkan musuhnya melarikan diri, ia terus mengejar pasukan para dewa yang menuju kahyangan Suralaya.
Sesampainya di Suralaya, Batara Narada menceritakan semua kejadian yang dialaminya beserta dengan para dewa saat menghadapi kesaktian raksasa yang telah dianggap menjadi perusak marcapada itu kepada Sanghyang Jagatnata. Tiba-tiba kahyangan Suralaya digegerkan oleh kedatangan sesosok raksasa yang tinggi besar. Raksasa yang tidak lain adalah raksasa ganas yang baru saja dihadapi oleh pasukan para dewa itu kini telah menapakan kaki di kahyangan Suralaya. Sanghyang Jagatnata yang sudah memahami siapa sebenarnya mahluk raksasa tersebut segera keluar dari istana Jonggring Salaka untuk menghadapinya. Dihadapan Sanghyang Jagatnata, raksasa itu hendak mengamuk dan melancarkan serangan dahsyat, tapi Sanghyang Jagatnata telah lebih dulu melambarinya dengan aji Kemayan. Raksasa itu tidak kuat menahan kesaktian Sanghyang Jagatnata, tubuhnya limbung dan jatuh. Ia menggeram dan meraung memohon ampun. Tubuhnya si raksasa lemah lunglai tidak berdaya. Dihadapan para dewa, Sanghyang Jagatnata segera menghunus pusaka Kalaminta. Ia berniat membunuh si raksasa dengan pusakanya, tiba-tiba Sanghyang Ismaya datang dan melarang Sanghyang Jagatnata yang ingin membunuh si raksasa. Ia beralasan bahwa tidak pantas bagi seorang Raja Tribuana melakukan pembunuhan terhadap mahluk yang sudah tidak berdaya. Apalagi Hyang Ismaya menyindir, kalau memang si raksasa dianggap sebagai perusak dan harus dimusnahkan, kenapa tidak sekalian dimusnahkan dengan biangnya (ayahnya). Sanghyang Jagatnata merasa malu mendengar sindiran Hyang Ismaya, lalu ia mencabut dua taring si raksasa yang menjadi keganasannya. Taring dalam genggaman Sanghyang Jagatnata berubah menjadi pusaka yang diberi nama Kalanadah. Lalu Hyang Jagatnata memulihkan kembali kekuatan si raksasa dan diakuinya sebagai putranya dan di beri nama batara Kala.

Saat itu juga Batara Kala diberi pakaian kadewatan dan diperkenankan tinggal di kahyangan Suralaya bersama dewa-dewa lainnya. Dan Sanghyang Jagatnata menyuruh Batara Kala untuk dapat membiasakan diri memakan makanan yang layak seperti makanan para dewa lainnya.

Pada kehidupan sehari-harinya Batara Kala yang kini tinggal di kahyangan Suralaya merasa bosan dengan kehidupan lingkungan kahyangan. Ia selalu merasa lapar, sebab selain aturan-aturan jatah makan yang ia peroleh juga makanan yang dimakan tidak sesuai dengan seleranya. Akhirnya Batara Kala menghadap ayahandanya, Sanghyang Jagatnata untuk mengijinkan dirinya kembali ke marcapada. Ia merasa tidak betah tinggal dilingkungan kahyangan, apalagi para dewa dan dewi tidak ada yang ingin berteman dengannya. Karena merasa kasihan Sanghyang Jagatnata mengijinkan Batara Kala untuk kembali ke marcapada. Namun sebelumnya Sanghyang Jagatnata meruat Batara Kala dengan gambar Kalacakra di keningnya. Ia berpesan kepada Batara Kala, bahwa siapa saja yang mampu membaca lambang yang ditorehkan di kening Batara Kala, maka mereka tidak boleh dibunuh, sebab mereka adalah kerabat para dewa di Suralaya dan merupakan utusan Sanghyang Jagatnata. Kemudian Sanghyang Jagatnata kembali memberi pesan agar Batara Kala tidak asal memakan makanan yang ada di marcapada. Adapun kodratnya yang sudah gemar memakan makanan yang bernyawa, hendaknya dibunuh terlebih dahulu sebelum dimakan. Sanghyang Jagatnata memberikan pusaka Kalanadah kepada Batara Kala untuk membunuh setiap korbannya yang hendak dimakan. Dan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh Sanghyang Jagatnata untuk Batara Kala, hal ini dimaksudkan agar kelak Batara Kala tidak memusnahkan kehidupan di marcapada. Maka, Sanghyang Jagatnata memberi ijin kepada Batara Kala untuk memakan mangsanya dengan syarat adalah mereka yang sudah ditentukan untuk dijadikan mangsa, yaitu :
1. “Julung caplok” yaitu anak yang lahir tepat pada saat matahari terbenam. Selain menjadi jatah Batara Kala, anak “Julung Caplok” juga merupakan cadangan makanan harimau.
2. “Julung kembang” yaitu anak yang lahir tepat pada saat matahari terbit.
3. “Ontang anting” yaitu anak tunggal puteri atau putera.
4. “Kendana-kendidi” yaitu dua bersaudara putera dan puteri seayah-seibu.
5. “Uger-uger lawang” yaitu dua bersaudara putera semua seayah-seibu.
6. “Kembang sepasang” yaitu dua bersaudara puteri semua seayah-seibu.
7. “Pandawa” yaitu lima bersaudara putera semua seibu-seayah.
8. “Pandawi” atau “kembang setaman” yaitu lima bersaudara puteri semua seibu-seayah.
9. “Pancuran kapit sendang” yaitu tiga bersaudara terdiri puteri-putera dan puteri seayah-seibu.
10. “Sedang kapit pancuran” yaitu tiga bersaudara terdiri putera-puteri-putera seayah-seibu.
11. “Runta” yaitu anak yang hari dan tanggal kelahirannya sama dengan ayahnya.
12. Empat orang bersaudara putera semua seayah-seibu.
13. Empat orang bersaudara puteri semua seayah-seibu.
14. Lima bersaudara terdiri seorang putera, empat puteri seayah-seibu.
15. Lima bersaudara terdiri seorang puteri, empat putera seayah-seibu.

Begitulah akhirnya Batara Kala dibatasi jatah makannya dan diharuskan membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum ia makan.




Sang surya beranjak lingsir, cahaya yang keemasan tersaput awan lembayung yang berarak. Senja berganti malam, kahyangan Suralaya kembali diliputi keheningan. Hanya suara-suara satwa kahyangan yang berderik menyatu dengan suara gending lokananta yang terdengar lirih, alunan yang mendayu merdu.

Disaat para dewa dan dewi bercengkrama dalam wisma mereka, saat para batara dan batari ber asyik masyuk di peraduan mereka, nun disalah satu sudut taman kahyangan yang hanya di terangi oleh sinar kunang-kunang yang indah, Hyang Ismaya duduk merenung seorang diri. Sebentar lagi ia akan menjalani tugasnya turun ke marcapada meninggalkan tanah pusaka yang telah melahirkannya, Suralaya. Terlintas dalam pikirannya tentang saudaranya, Hyang Antaga yang telah lebih dulu turun ke marcapada, entah bagaimana nasibnya disana. Saat Hyang Ismaya masih termenung, tiba-tiba seberkas cahaya menjelma dihadapannya. Cahaya itu lamat-lamat berubah menjadi sosok Sang Hyang Tunggal. Sang ayah pun menanyakan perihal yang menjadi lamunan putranya. Ia menanyakan keteguhan hati putranya, apakah sang putra merasa berat hati menjalani tugas yang akan diembannya.
Sang putra merasa ikhlas dengan apa yang telah dihadapinya sebagai ujian, namun dalam nada bersenda gurau ia menyindir keadaan rupanya yang telah tidak lagi rupawan. Wujudnya kini sangat jauh berbeda dengan wujudnya yang terdahulu, buruk rupa dan berkulit hitam legam. Hyang Tunggal menjelaskan bahwa tubuh Hyang Ismaya yang kini berubah hitam mempunyai makna tidak berubah; menyamarkan yang sejatinya, yang bermaksud ‘ada’ itu ‘tidak ada’, sedangkan yang ‘tidak ada’ diterka bukan, dan yang ‘bukan’ diterka ‘ya’. Dengan demikian sebenarnya Hyang Tunggal telah menunjuk Ismaya sebagai putra yang tertua secara sifat diantara kedua saudaranya, Hyang Antaga dan Manikmaya. Dan hitam kulit Ismaya sendiri dilambangkan sebagai misteri, ketidak tahuan mutlak, yaitu ketidak tahuan semua mahluk kepada Sang Penciptanya. Maka, Hyang Ismaya dalam tugasnya nanti di marcapada harus mengganti nama sebagai Semar Badranaya (Semar = Haseming Samar-samar atau Penuntun Hidup) dan Badra (Bebadra = Membangun dari dasar) dan Naya (Nayaka= Utusan).
Hyang Ismaya mengajukan permintaan kepada Sanghyang Tunggal, bahwa di marcapada nanti ia meminta seorang saksi dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menginginkan saksi yang bukan merupakan bagian dari jati dirinya, ia akan mencipta seorang saksi yang bersal dari dirinya sendiri. Kelak di marcapada nanti selain ditemani oleh Petruk dan Gareng, Semar atau Hyang Ismaya menciptakan seorang saksi yang berasal dari bayangannya, dan saksi itu akan diberi nama Bagong (inilah yang dikenal dengan Punakawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar