Arjuna dan Ekalaya (Cincin Mustika Ampal)
Sepekan telah berlalu sejak perang tanding
yang belum menampakkan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Keadaan
Ekalaya dan Harjuna semakin membaik. Itu artinya bahwa tidak lama lagi
perang tanding untuk yang ketiga kali akan dilanjutkan, sampai ada satu
di antaranya yang kalah.
Seiring dengan pulihnya kekuatan mereka, bara di hati keduanya mulai
membara kembali. Malam bergeser sangat lambat. Durna berjalan
modar-mandir di antara bilik Harjuna dan bilik Ekalaya yang letaknya
kurang lebih berjarak 300 meter. Masih terngiang di telinga sang guru
Sokalima sabda Sang Hyang Guru
“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”
Memang seharusnya Durna dapat menghentikan pertikaian mereka. Karena
jika pertikaian terjadi lagi, kahyangan akan gonjang-ganjing. Para
Dewa-Dewi akan pada lari kepanasan.
Tidaklah salah jika diperlukan tindakan tegas dan sedikit memaksa
bagi seorang guru dalam menghadapi muridnya yang tidak mengindahkan
perintah sang Guru. Bahkan bagi murid yang melanggar aturan perguruan
pantas diberi sanksi atau pun hukuman yang setimpal. Tetapi siapa yang
pantas mendapat teguran dan sanksi selaras dengan pelanggarannya? Apakah
Ekalaya? Tidak! Bukankah Ekalaya belum secara resmi menjadi muridnya?
Tetapi jika bukan kepada Ekalaya, mungkinkah Harjuna yang dihukum? Wah
sungguh amat berat. Kayaknya tidak mungkin. Karena Harjuna adalah orang
yang pertama kali melakukan sembah dan mohon menjadi muridnya sebelum
disusul oleh saudara-saudaranya Pendawa dan warga Kurawa. Dan oleh
karena daya tariknya kepada Harjuna dan juga Bimasena Durna berkenan
mengajarkan ilmu-ilmunya, maka kemudian berdirilah Padepokan yang
semakin hari semakin besar, Sokalima namanya. Belasan tahun berlalu,
Sokalima masih megah bertahan. Ratusan murid telah dihasilkan. Mereka
menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan kenyataan yang ada, tidaklah
mudah untuk menjatuhkan sanksi atau pun menghukum kepada Harjuna, murid
berprestasi, murid kesayangan, murid yang amat patuh dan sekaligus murid
cikal-bakal padepokan Sokalima.
Maka ketika sang guru Durna bersikeras bahwa pertikaian harus
dihentikan, dan bagi yang tidak tunduk dengan perintahnya akan diberi
sanksi, maka secara tidak sadar Durna melangkah kakinya ke bilik
Ekalaya.
“Ekalaya, tahukah engkau apa yang sedang menggelisahkan pikiranku?”
“Ampun Bapa Resi, maafkan saya, sesungguhnya yang membuat Bapa Resi gelisah karena pertikaianku dengan Harjuna.”
“Bagus Ekalaya! Engkau anak yang cerdas. Jika demikian tentunya hanya
satu jalan untuk dapat menghilangkan rasa gelisahku yang berlebihan,
yaitu pertikaian dihentikan. Sanggupkah engkau Ekalaya?”
“Sejak awal aku memang berniat untuk berdamai dengan Harjuna dengan
meminta maaf atas kelancangannku membunuh anjing kesayangan. Namun
Harjuna menginginkan penyeselsaian perkara tersebut dengan cara
kesatria. Jika sekarang aku menyerah dan mengaku kalah artinya saya
mengulangi tawaran awal yang tidak dimaui Harjuna.”
“Ekalaya, sebagai seorang guru, tentunya aku tidak pernah
menginginkan kehilangan salah satu murid-murid terbaik Soka Lima. Aku
tahu apa yang diinginkan Harjuna dan apa yang kau inginkan. Harjuna
menginginkan kemenangan dan itu mutlak. Jika tidak, lebih memilih mati.
Sedangkan engkau masih bisa ditawar antara menang dan mengalah. Oleh
karenanya supaya pertikaian segera berakhir dan keduanya selamat, pada
pertempuran yang ketiga nanti engkau berpura-puralah kalah di hadapan
banyak orang yang menyaksikan. Ekalaya, aku percaya kepadamu bahwa kamu
akan dapat menyelesaikannya dengan baik dan selamat.”
“Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku
tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah
menarik busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang
terhimpun dengan sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku
serta otot bebayuku, guna menghadang serangan musuh.”
“Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa yang engkau gunakan?“
“Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu
Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal
dari pusaka Mustika Ampal.”
“Mustika Ampal?”
”Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang,
wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin
Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna
memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat
memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda juga
mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa
dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan
melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendakNyalah Mustika
Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh
rakyatnya terampil menggunakan panah.
Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku
sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada
atau Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin
tersebut telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan
ibu jari tanganku. Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak
mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih
dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal.”
Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal.
Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada
Harjuna tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.
Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan
Ekalaya tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat
kandel pribadi yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga
menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang
tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di Sokalima.
Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa
lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna,
murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama
Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak
terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.
“Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara
berpura-pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh,
yaitu jika Cincin Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara.”
“Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan ibu jari tangan kananku.”
“Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”
“Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”
Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut
mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin
Mustika Ampal berada.
Sang Guru bertanya kepada muridnya,
“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”
“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan
Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa
Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”
Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang
mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan
kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing
menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.
Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia
hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat
perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.
Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih
terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan
mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya,
sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin
berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa
Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika
Ampal
“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”
“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”
Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya.
Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan
semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.
Panas, panas dan semakin panas.
“Aduh! ”
Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.
Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,
“Kangmaaass!”
Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri.
Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. dan meninggalkan
luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal
kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya
bahwa kesaktiannya telah lenyap.
Cincin Mustika Ampal yang diambil paksa oleh Durna merupakan tragedi
seorang murid yang memilukan. Sosok guru yang jauh-jauh dicari dan
diharapkan dapat menambah keilmuannya ternyata malah tega merampas harta
ilmu yang telah dimiliki si murid. Ekalaya telah terhempas dari
harapannya. Ia menjadi tumbal ambisi Durna yang tidak menginginkan
ilmu-ilmu Sokalima berada setingkat lebih rendah dibandingkan dengan
ilmu-ilmu dari luar Sokalima.
Dengan kejadian tersebut, Durna dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
pusaka Gandewa yang diandalkan dan ilmu-ilmu Sokalima tingkat tinggi
yang dikuasai Harjuna belumlah cukup untuk menandingi Cincin Mustika
Ampal.
Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama
besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa
yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika
Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena
ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid
kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.
Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna.
Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.
“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”
“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal.
Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah.
Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan
kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”
Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna
segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah
kanan.
Sungguh ajaib!
Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati
keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya
menjadi enam.
“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”
“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”
Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika
Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur
serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita
malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang
berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari
tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak
panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat
meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan
sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon
yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok
itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.
Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka
Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya,
Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas
pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna
berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya
nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.
Waktu belum bergeser jauh dari tengah malam, di biliknya Ekalaya
mulai pulih kesadarannya. Aswatama yang sejak tadi membantu Anggraeni
merawat Ekalaya merasa iba terhadap tragedi yang menimpa sahabatnya.
“Kakang Mbok Anggraeni sudahlah, janganlah kau habiskan air matamu di
bilik yang sempit ini. Bukankah dengan demikian hatimu akan bertambah
sesak?”
“Dhimas Aswatama, sesungguhnya tangisku bukanlah tangis yang
menyesakkan dada, tetapi tangis yang membebaskan. Bebas dari
kekhawatiran setelah tidak mempunyai Cincin Mustika Ampal. Aku terharu
karena masih diperkenankan mendampingi Kakangmas Ekalaya yang saat ini
sudah mulai sadar. Batinku mengatakan bahwa hidup suamiku jauh lebih
berharga dibandingkan dengan Cincin Mustika Ampal. Bagiku peristiwa ini
bukan tragedi nasib kami berdua, melainkan wujud dari belas kasihNya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar