Arjuna dan Ekalaya (Kedatangan Ekalaya di Sokalima)
Aswatama dikejutkan oleh datangnya sepasang manusia, yang sungguh
sempurna sebagai manusia. Dengan ramah mereka datang menghampiri
Aswatama untuk menanyakan letaknya padepokan Sokalima. Aswatama tidak
segera menjawab. Dipandanginya ke dua orang tersebut secara bergantian,
ia sangat terpana dengan wanita yang berada di depannya. Cantik sekali!
Seperti inikah Batari Wilutama.
“Maaf kisanak, dimanakah padepokan Sokalima berada?” Aswatama
tersadar. Untuk menutupi rasa malu, ia segera mengantarkan keduanya ke
Padepokan Sokalima.
“Aku bernama Ekalaya seorang raja dari Paranggelung, dan ini adalah
isteriku bernama Dewi Anggraeni. Kami berdua datang ke Sokalima untuk
berguru kepada Begawan Durna.”
Berdesir hati Aswatama mendengar bahwa wanita yang cantik jelita bak
bidadari tersebut akan berguru kepada bapa Durna. Itu artinya bahwa ia
akan sering ketemu. Ah betapa bahagianya. Wajahnya berseri penuh
keceriaan. Rasa sakit hati atas sikap bapanya karena telah mewariskan
pusaka Gandewa kepada Harjuna untuk sesaat terlupakan.
Di Padepokan Sokalima Ekalaya dan Anggraeni diterima Pandhita Durna.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi Pandita Durna dapat menangkap dan
merasakan bahwa Ekalaya mempunyai kemampuan yang luar biasa, seperti
kemampuan yang dimiliki para dewa. Oleh karenanya jika Durna mau
memerima murid istimewa tersebut maka tentunya Durna dapat berharap
banyak kepadanya. Namun tidaklah sesederhana itu untuk mengangkat murid
baru. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Maka dalam menunggu
keputusan Pandita Durna, Ekalaya dan Dewi Anggraeni dipersilakan untuk
tinggal sementara di Sokalima.
Itulah kesempatan yang paling diharapkan Aswatama. Karena dengan
demikian ia dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Dewi
Anggraeni. Bagi Aswatama kehadiran mereka berdua terlebih Dewi
Anggraeni, merupakan magnet yang sangat kuat sehingga mampu menyedot
seluruh budi, pikiran yang ada dalam pribadi Aswatama.
Anggraeni, Anggraeni, mengapa aku menjadi tak berdaya karenamu?
Sungguh kecantikanmu melebihi semua wanita yang pernah aku jumpai.
Selayaknya engkau tidak hidup di bumi yang kotor dan jelek ini, tetapi
hidup di kahyangan yang indah mulia.
Seperti itukah wajah seorang bidadari?
Seperti itukah ibuku Bidadari Wilutama?
Jika benar, beruntunglah aku.mempunyai ibu secantik Anggraeni.
Sepekan berlalu Durna belum memutuskan apakah Ekalaya diangkat murid
atau ditolak. Memang pada umumnya seorang Pandita mempunyai kebebasan
penuh dalam hal mengangkat murid. Namun apakah kebebasan tersebut masih
di perolehnya setelah Durna resmi menjadi guru istana.
Memang ketika aku diangkat menjadi guru istana, Resi Bisma dan
Begawan Abiyasa mengatakan bahwa selama mengajar Para Kurawa dan
Pandawa, aku tidak diperkenankan mengangkat murid baru. Tetapi itu dulu.
Sekarang secara resmi tugasku telah selesai. Semua ilmu telah aku
ajarkan kepada Pandawa dan Kurawa. Walaupun begitu aku masih memberi
kesempatan kepada mereka untuk sewaktu-waktu datang di padepokan guna
menuntaskan, mematangkan dan mengembangkan ilmu yang telah aku berikan.
Dan aku pikir sekarang aku boleh mengangkat murid baru
Kehadiran Ekalaya dan Anggraeni membuat padepokan Sokalima semarak.
Banyak orang datang ingin menghaturkan sembah kepada Raja Paranggelung
beserta prameswarinya yang sangat cantik jelita. kepada
Disore yang indah, ketika matahari segera berangkat ke peraduan, Durna memanggil Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama.
Ada perasaan menyesal menggelayut di dada Durna, ketika di pagi buta,
pusaka Gandewa telah dibawa pergi oleh Harjuna. Walaupun langkah itu
sudah digelar-digulung sebelumnya, toh kekecewaan masih juga menghampiri
perasaannya. Ia membenarkan kata Aswatama, bahwa Harjuna tidak berhak
atas pusaka Gandewa itu. Tetapi bagaimana lagi keputusan sudah
dijalankan, dan pusaka telah dibawa Harjuna ke Panggombakan.
Perasaan bersalah kepada Aswatama itulah yang kemudian ingin ditebus
dengan keinginannya untuk membahagiakan anak semata wayang. Melalui
ketajaman naluri, Resi Durna mampu melihat bahwasanya semenjak
kedatangan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama senantiasa memperlihatkan
keceriaannya. Ekalaya, raja besar yang mewarisi kerajaan ayahnya, Prabu
Hiranyadanu dari negeri Nisada, yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Paranggelung. Melihat sikap Astatama, Sang Resi harus berpikir seribu
kali untuk menolak Ekalaya. Karena jika hal itu dilakukan, tentunya
Ekalaya dan Anggraeni segera angkat kaki dari bumi Sokalima. Akibatnya,
Aswatama akan bersedih dan kecewa. Maka mau tidak mau, demi kebahagiaan
anaknya, Durna harus menahan Ekalaya, khususnya Anggraeni, agar Aswatama
tidak terpukul hatinya untuk yang ke dua kali.
Sang Resi sendiri mengakui bahwa Raja Paranggelung serta
prameswarinya itu merupakan pasangan yang sempurna. Keduanya tampan dan
cantik jelita, ramah, santun, rendah hati dan sangat menghormati
sesamanya. Sehingga setiap orang yang berjumpa dan berbincang-bincang
dengan mereka akan merasa berharga sebagai manusia.
Malam itu Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama memenuhi panggilan Sang
Resi datang di pendapa induk padepokan. Sembah yang diberikan Ekalaya
membuat Durna layak untuk berbesar hati. Lebih-lebih prameswarinya,
Anggraeni, yang santun dan selalu memperlihatkan senyumnya, akan membuat
siapa saja enggan meninggalkan sapaan lembut yang menyejukkan sanubari.
“Ekalaya, walaupun dalam pengamatanku engkau sudah menampakan
kesungguhan berguru kepadaku, untuk saat ini aku belum akan mengangkatmu
sebagai murid. Namun jangan berkecil hati, engkau aku beri kesempatan
belajar pengetahuan tentang ilmu yang aku ajarkan kepada murid-muridku
di Sokalima.”
Bagi Ekalaya, kesempatan yang diberikan oleh Pandita Durna sudah
lebih dari cukup. Oleh karenanya Ekalaya berjanji ingin menggunakan
kesempatan berharga tersebut dengan sebaik-baiknya.
Sejak awal, Ekalaya yang juga bernama Palgunadi, datang ke Sokalima
untuk memperdalam ilmu memanah. Karena bagi Ekalaya, raja Nisada atau
Paranggelung, ilmu dan ketrampilan memanah merupakan pelajaran wajib
bagi seluruh rakyat di negeri itu. Maka ketika mendengar bahwa di
Sokalima diajarkan ilmu memanah tingkat tinggi, Ekalaya berkeinginan
memperdalam ilmu memanah kepada Resi Durna, Guru Besar di padepokan
Sokalima.
Waktu berjalan cepat, tak terasa sudah hampir setahun Ekalaya belajar
kepada Pandita Durna. Tidak peduli dengan predikat murid yang belum
didapat, Ekalaya telah menyerap pengetahuan ilmu-ilmu Sokalima, termasuk
ilmu memanah. Namun ilmu saja belum cukup, oleh karenanya Ekalaya ingin
mempraktekkan ilmu yang didapat dari Pandita Durna, terutama ilmu
memanah.
Suatu malam Ekalaya bermimpi sedang belajar memanah di sebuah taman
asri di tengah hutan. Di sudut taman terdapat patung Pandita Durna yang
sedang tersenyum, seakan-akan bangga melihat kemampuan muridnya. Bagi
Ekalaya, belajar memanah di depan patung Pandita Durna tersebut terasa
mendapat energi yang luar biasa sehingga dapat menggugah jiwa dan
mengobarkan semangat dalam belajar.
Sejak mimpi itu, Ekalaya berkeinginan membuat tempat latihan seperti
pada gambaran mimpinya tersebut. Dewi Anggraeni, sebagai isteri setia,
menyetujui niat suaminya. Aswatama dengan penuh kebaikan melayani segala
sesuatu yang dibutuhkan demi kelancaran Ekalaya dalam menuntut ilmu.
Sehingga bagi Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mendapat tempat khusus di
hati keduanya karena jasa-jasanya.
Pernah terlintas dibenak Ekalaya dan Anggraeni, kelak jika tugasnya
di Sokalima telah selesai, mereka berkeinginan memboyong Aswatama ke
Paranggelung untuk diberi kedudukan tinggi sebagai sahabat raja.
Waktu satu tahun selama perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni
khususnya, telah mampu menggeser semua sejarah hidup Aswatama yang sudah
hampir mendekati 30 tahun. Hidup lama telah diganti hidup baru. Bagi
Aswatama, pasangan Ekalaya dan Anggraeni telah mampu mengubah hidupnya
secara luar biasa. Aswatama yang semula merasa lebih rendah atau tidak
lebih berharga dibandingkan dengan para ksatria Pandhawa, ternyata ia
sangat berharga di mata raja besar Paranggelung beserta prameswarinya.
Jika selama ini Aswatama tidak percaya diri akan kemampuannya di hadapan
orang tuanya, kini mulai menemukan banyak kelebihan dihadapan sang Raja
sakti dari negara Nisada. Sungguh ajaib, perjumpaannya dengan Ekalaya
dan Anggraeni yang penuh kasih dan rendah hati, membuat hidup Aswatama
indah berseri bagai pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar