Pesanggrahan PramanaKoti
Bimasena diundang pesta di pesanggrahan tersebut. Makanan dan minuman tersedia melimpah. Bimasena datang sendirian memenuhi undangan Duryudana yang dianggap sebagai saudara tua yang dihormati. Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan warga Kurawa lainnya menampakkan rasa persahabatan penuh keakraban dalam menjamu Bimasena. Tanpa perasaan curiga, Bimasena menikmati hidangan yang disajikan.
Berkali-kali Duryudana menambah tuak ke dalam bumbung minuman di tangan Bima. Entah mengapa, Bima tak kuasa menolak tawaran warga Kurawa. Apakah ia takut akan menyakiti hati para Kurawa jika menolak tawarannya. Walau sesungguhnya Bimasena telah merasakan kepalanya berat dan pusing karena kebanyakan minum tuak, toh ia selalu meneguknya tatkala minuman yang ada di bumbungnya ditambah Duryudana.
Sekuat apa pun Bima bertahan memaksakan diri untuk menuruti kehendak para Kurawa, akhirnya sampailah pada batas daya tahan Bimasena. Selanjutnya Bimasena tidak kuat lagi dan jatuh di lantai. Sebagian besar warga Kurawa terkejut melihat Bima jatuh begitu cepat. Namun tidak banyak yang tahu kecuali Sengkuni dan Duryudana, bahwasanya tuak yang khusus diminum Bimasena telah dicampuri dengan racun yang mematikan. Bima terkulai tak berdaya, dari mulutnya keluar busa berwarna putih. Sengkuni segera memerintahkan warga Kurawa segera mengikat badan Bimasena dengan akar-akar pohon. Setelah diikat kuat-kuat, lalu diberi bandul batu yang sangat besar, Bimasena dilemparkan ke sungai Gangga yang membentuk kedung dengan kedalaman lebih dari 12 meter. Warga Kurawa bersorak gembira, bak tumpukan batu bata yang roboh membarengi deburan air sungai Gangga yang memecah ditimpa Bimasena.
Sebentar kemudian permukaan air sungai Gangga menutup kembali untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri Bimasena. Puluhan pasang mata warga Kurawa tak kuasa menembus kedalaman sungai Gangga lebih dari satu meter. Namun semua yang ikut pesta mempunyai anggapan yang sama, bahwa Bimasena akan segera mati.
Kedung Sungai Gangga terkenal sangat gawat, karena dihuni oleh ribuan ular ganas yang dirajai oleh raja ular bernama Aryaka. Ular-ular ganas tersebut tidak membuang-mbuang waktu. Mereka bergerak amat cepat menyambut benda asing yang masuk ke dalam air. Beratnya tubuh Bima ditambah dengan beratnya batu mengakibatkan tubuh Bimasena tenggelam semakin cepat menuju ke dasar sungai. Ribuan ular beracun mematuki tubuh Bima.
Eloknya terjadi peristiwa yang tak terbayangkan manusia. Patukan ular-ular beracun tersebut tidak membuat Bimasena mati lebih cepat. Racun yang telah masuk di tubuh Bima lewat minuman yang disajikan, tidak mempunyai daya pembunuh lagi, bahkan telah menjadi tawar ketika bereaksi dengan racun akibat patukan ribuan ular. Dengan sangat cepat tubuh Bimasena berangsur-angsur pulih kekuatannya. Bimasena kemudian sadar, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya, karena sekujur badannya dipatuk oleh ribuan ular berbisa. Ia mengamuk membunuh ribuan ular yang menyerangnya. Raja ular Aryaka mendapat laporan bahwa ada orang mengamuk di dasar sungai, dan telah membunuh ribuan ular. Raja Aryaka mendekatinya, dan tahulah dia bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bima adalah anak Dewa Bayu, dewanya angin.
Dengan keramahan kebapakan. Naga Aryaka mendekati Bimasena. Dan redalah kemarahan Bimasena. Kemudian Bimasena melakukan penghormatan kepada Naga Aryaka dan meminta maaf atas kelakuannya karena telah membunuh ribuan rakyatnya. Setelah segalanya menjadi baik, termasuk ular-ular yang telah dibunuh dihidupkan kembali oleh Naga Aryaka, Bima ingat akan semua kejadian yang menimpanya sejak awal hingga akhir, dan menceritakannya kepada Naga Aryaka.
Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada Bima berujud minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, Bima tidak merasakan bahwa dirinya berada di dalam air di dasar Bengawan Gangga. Tidak ada bedanya dengan di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah. Naga Aryaka menghendaki agar beberapa hari Bima berada di dasar Bengawan Gangga untuk memperoleh ilmu darinya.
Dengan senang hati Bima memenuhi permintaan Naga Aryaka yang telah berperan dalam menyelamatkan dirinya. Berbagai ilmu tentang hidup di wejangkan kepada Bima. Setelah dianggap cukup, Naga Aryaka berpesan.
”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, birlah Dia yang menghukumnya.” Bima berjanji akan mentaati nasihat Naga Aryaka, dan mohon diri meninggalkan Bengawan Gangga untuk kembali ke Panggombakan.
Sesampainya di Panggombakan, Bima disambut oleh paman Yamawidura, Ibunda Kunthi, Puntadewa serta adik-adiknya dengan sukacita. Karena beberapa pekan sejak diundang pesta di pesanggrahan alas Pramanakoti, Bima belum kembali. Kepada mereka diceritakannya apa yang dialami Bima dari awal sampai akhir. Sungguh mengharukan tetapi juga membahagiakan. Bima lolos dari maut, bahkan memperoleh ilmu dan Tirta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Kabar kepulangan Bima di Panggombakan dalam keadaan segar bugar membuat Sengkuni, Duryudana dan warga Korawa kelimpungan. Mereka sudah terlanjur mengabarkan kepada Raja Destrarasta bahwa Bima jatuh tenggelam di kedung Bengawan Gangga sewaktu berpesta pora di Pesanggrahan Alas Pramanakoti. Karena lama tidak muncul Bima dianggap telah mati disantap naga-naga ganas penghuni kedung bengawan Gangga. Tetapi ternyata, Bima belum mati, ia menjadi semakin perkasa. Dengan mendapat kesaktian baru yang memungkinkan ia dapat hidup di dalam air seperti layaknya berada di atas daratan
”Sengkuni! aku mendengar bahwa Bima kembali dalam keadaan selamat., benarkah itu?”
”Ampun Sang Prabu Destrarasta, apa yang paduka dengar benar adanya. Bima masih hidup. Untuk itu kami mohon ampun atas praduga hamba sebelumnya yang mengatakan bahwa Bima telah mati. Karena lebih dari sepekan warga Kurawa menunggu disekitar kedung bengawan Gangga, tempat Bima tenggelam, namun Bima tidak muncul. Kami beranggapan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat bertahan hidup di dalam air, selama berhari-hari. Jika ternyata ia masih hidup, hamba sendiri cukup heran, dengan ilmu sihir macam apa yang digunakan Bima.”
”Cukup Sengkuni! panggil Bima dan saudara-saudaranya, aku ingin mendengar kisahnya.”
”Baik Sang Prabu, perintah paduka segera aku laksanakan.”
Dengan terbata-bata Sengkuni segera undur diri. Prabu Destarastra menarik napas panjang. Ia dapat merasakan kepatuhan Sengkuni dan juga Gendari isterinya adalah kepatuhan semu. Walaupun telah dibungkus dengan kata-kata manis, suasana yang damai menentramkan, toh kebusukan hatinya tercium juga. Jika dapat memilih ia lebih senang tidak menjadi raja di Hastinapura. Percuma saja ia memerintah. karena aturan, wewenang, keputusan dan kebijakan raja selalu diselewengkan demi kepentingan Isteri dan Patihnya.
Sengkuni gelisah, apa jadinya jika Bima berkisah tentang penganiayaan yang dilakukan warga Kurawa. Walaupun Sengkuni dan Gendari menganggap remeh Destrarastra karena kebutaan matanya, mereka miris juga kepada aji Lebur Sakethi yang dimiliki Destarastra. Namun kegelisahan Sengkuni tak berkepanjangan. Ia segera mendapat akal, untuk menghadapi cerita Bima. Yang penting menjaga agar Destarastra tidak marah.
Usaha membunuh para Pandawa yang dilakukan oleh Sangkuni, Gendari dan para Kurawa berkali-kali gagal. Namun berkali pula ia lolos dari tuduhan Sang Raja. Dan itu tidak membuat jera. Bahkan semakin terbakar hati mereka untuk segera menyingkirkan Pandawa.
Diilhami oleh sebuah peristiwa kebakaran, Sengkuni mendapat gagasan baru untuk menyingkirkan Pandawa. Ya dengan cara dibakar akan sulit dilacak penyebabnya. Gagasan tersebut disetujui oleh Gendari, Duryudana dan para Kurawa. Kemudian diteruskan kepada Purucana, seorang ahli membuat bangunan yang cepat dan indah. Maka mulailah dibangun sebuah bale di Waranawata, yang letaknya jauh dari kotaraja Hastinapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar