Tribuana (Bagian 6, Batara Narada)
Syahdan di Negara Shindu Udal-udal yang menjadi raja adalah Sang Hyang
Caturkaneka. Ia adalah putra dari Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) kakak
kandung Sang Hyang Wenang, yang juga berarti saudara sepupu dengan
Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Caturkaneka mempunyai seorang putra yang
bernama Sang Hyang Kanekaputra. Ia adalah seorang kesatria dewa yang
berparas cakap rupawan dengan kelebihan berbagai ilmu pengetahuan dan
kesaktian ditambah kecerdasan yang menjadikan Sang Hyang Kanekaputra
adalah seorang anak yang sangat dibanggakan oleh kedua orang tuanya,
juga bangsanya. Namun kepandaian ilmu dan keluasan pengetahuan terkadang
menjadi cobaan bagi setiap insan yang mendapatkan keistimewaan karunia
tersebut, begitu juga dengan Hyang Kanekaputra. Dihadapan Ayahandanya,
Hyang Kanekaputra mengutarakan keinginannya yang selalu tersirat dalam
hati dan pikirannya untuk menjadi seorang penguasa Triloka (dunia
ketiga). Sebenarnya Sang Hyang Caturkaneka melarang keinginan putranya
itu. Ia memberi nasehat kepada putranya bahwa seseorang yang memiliki
keluhuran ilmu dan kepandaian, sejatinya tidak akan pernah hilang
walaupun ia tidak menjadi seorang penguasa atau pemimpin. Dan apalagi
kedudukan sebagai Raja Tribuana telah dimandatkan oleh Sang Hyang
Tunggal dan para leluhurnya kepada Sang Hyang Manikmaya, alangkah lebih
baik jika Hyang Kanekaputra membantu Hyang Manikmaya dalam menjalankan
tugas dan baktinya yang telah diemban sebagai seorang kalifah di
kadeatan Suralaya nanti. Walau pun Hyang Caturkaneka mencoba untuk
mengarahkan jalan yang lebih baik kepada putranya, namun ia sangat paham
akan perwatakan putranya yang berpendirian keras. Lagi pula putranya
beralasan bahwa, ia hanya ingin menguji sampai dimana kepandaian dan
kesaktian Manikmaya sehingga diangkat menjadi raja Tribuana, dan kalau
memang Hyang Manikmaya teruji kesaktiannya, maka ia tidak segan-segan
untuk mengabdikan diri kepada Manikmaya. Mendengar alasan itu Sang Hyang
Caturkaneka mengijinkan keinginan putranya. Setelah mendapat restu
dari ayahandanya, Sang Hyang Kanekaputra kemudian pergi meninggalkan
negeri Shindu. Ia terbang melintasi daratan dan lautan menuju Suralaya.
Di tengah perjalanan Hyang Kanekaputra berubah pikiran, ia berpikir
lebih baik mengundang Hyang Manikmaya dari pada dirinya yang harus
datang ke Suralaya. Maka, Sang Hyang Kanekaputra lalu duduk di atas
lautan samudralaya, mengheningkan cipta bermujasmedi mengolah rasa.
Puncak Tengguru diliputi awan hitam kelam. Candradimuka menggelegar-gelegar memuntahkan lahar dan api panasnya. Saat itu juga kahyangan Suralaya dihampar hawa panas, menyebabkan para penghuninya merasa was-was, ada apa gerangan yang bakal terjadi? Hyang Manikmaya dengan aji Pengabarannya mencari tahu apa gerangan yang menjadi penyebab mengamuknya kawah Candradimuka. Melalui kesaktiannya itu Manikmaya akhirnya mengetahui apa dan siapa dibalik peristiwa tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk mendatangi Sang Hyang Kanekaputra di samudralaya.
Nun jauh di tengah samudralaya, Manikmaya melihat seberkas sinar yang memancar dari sosok seorang kesatria dewa yang sedang melakukan tapabrata. Pancaran sinarnya mampu meredam gelombang ombak yang bergemuruh di tengah lautan, tubuhnya tidak sedikit pun basah oleh air laut. Manikmaya kagum dengan kesaktian kesatria rupawan yang tidak lain adalah Sang Hyang Kanekaputra. Lalu Sang Hyang Manikmaya membangunkan dan menanyakan maksud dari tapabrata Kanekaputra yang telah mengguncangkan kawah Candradimuka. Yang ditanya tetap diam, membisu dan masih memejamkan mata. Hyang Manikmaya kembali menggugah dan menanyakannya. Yang ditanya masih saja diam, membisu dan masih tetap memejamkan mata. Hyang Manikmaya merasa kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, ia lalu berniat mengeluarkan pusaka dewata untuk mengugahnya, tapi sebelum niat Manikmaya terlaksana tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan tertawa. Ia menertawakan sifat Manikmaya yang dianggap tidak memiliki kesabaran. Manikmaya kembali bertanya tentang maksud dan tujuan dari tapabrata tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan dari yang Manikmaya, Sang Hyang Kanekaputra lebih dulu memperkenalkan jatidirinya sehingga Manikmaya kini tahu bahwa kesatria dewa tersebut adalah masih keturunan Hyang Nurrasa, salah satu leluhurnya.
Sang Hyang Kanekaputra melanjutkan dengan menjawab maksud dan tujuannya melakukan tapabrata adalah tidak lain untuk mengundang Hyang Manikmaya dan menyampaikan keinginannya menjadi kalifah ing dewa (Raja Tribuana). Mendengar itu, Hyang Manikmaya lalu mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Raja Tribuana haruslah memiliki kepandaian dan kesaktian yang dapat diandalkan hingga nantinya akan dapat mempertanggungjawabkan tugas yang akan diemban kelak. Maka, Keduanya lalu saling mengadu pengetahuan dengan saling memberikan pertanyaan dan jawaban. Sang Hyang Kanekaputra memang seorang ahli dalam ilmu pengetahuan, kepandaiannya sangat luar biasa sehingga semua pertanyaan Hyang Manikmaya dapat ia jawab. Dan saat Hyang Manikmaya menanyakan tentang sifat tertua yang tertanam pada diri manusia semenjak lahir, Hyang Kanekaputra mampu menjawabnya dengan cemerlang bahwa sifat tertua yang ada pada diri manusia semenjak lahir adalah sifat ‘keinginan’, karena semenjak manusia dilahirkan di alam dunia, ia sudah berkeinginan. Seperti bayi manusia yang dilahirkan dalam keadaan menangis, ia sudah mempunyai keinginan, hanya saja manusia dewasa saat itu tidak mampu menterjemahkan keinginan yang disuarakan lewat tangisan bayinya.
Hyang Manikmaya mengagumi kecerdasan dan ilmu pengetahuan Hyang Kanekaputra, maka sebagai ujian terakhir adalah mengadu kesaktian. Hyang Kanekaputra menantang Manikmaya, apabila Hyang Manikmaya dapat menggeser tubuhnya dari keadaan duduk sempurna tapabrata di atas laut, maka ia mengaku kalah dan bersedia mengabdi kepada Hyang Manikmaya. Akan tetapi apabila Hyang Manikmaya tidak mampu melakukannya, maka Hyang Manikmaya harus menyerahkan tahta Jonggring Salaka kepada dirinya. Sang Hyang Manikmaya menerima tantangan, ia pun segera menyiapkan aji Kemayan dan kemudian keduanya beradu kesaktian secara batiniah. Larikan sinar berkelebatan diantara dua sosok manusia dewa yang sedang bertarung batin di atas samudralaya. Beberapa saat kemudian seiring dengan derunya gelombang ombak, Hyang Kanekaputra yang tidak sanggup melawan keampuhan aji Kemayan seakan ada sesuatu yang membetot paksa seluruh kesaktiannya keluar dari garbanya. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya dan akhirnya terjebur masuk kedalam laut. Ia timbul tenggelam dilautan dan ia mengakui kekalahannya. Hyang Manikmaya lalu memulihkan kembali kesaktian Hyang Kanekaputra dan sejak saat itu Hyang Kanekaputra mengabdi kepada Hyang Manikmaya, ia mendapat gelar batara dan diberi jabatan sebagai kebayan ing dewa yang artinya adalah manusia dewa kedua setelah Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, atau istliah lainnya adalah Mahapatih.
Pada hari-harinya di Suralaya, Sang Hyang Kanekaputra atau juga Batara Kanekaputra sangat gemar berjenaka. Ia seorang yang periang dan sangat suka bersendawan dengan Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, namun kekurangannya adalah terkadang Hyang Kanekaputra tidak bisa membatasi sifat berkelakarnya. Bercandanya kadang keterlaluan, melampaui batas dengan ejekan-ejekan yang dianggapnya sebagai lelucon. Suatu hari Hyang Manikmaya merasa tersinggung ketika melihat Batara Kanekaputra meng-olok-olok Hyang Ismaya dan Hyang Antaga. Perlakuannya dianggap sudah melampuai batas bercanda, maka Hyang Manikmaya pun bersabda bahwa Batara Kanekaputra sebenarnya lebih pantas berpenampilan seperti mereka, sebab ke-elokan dan tingkah laku Kanekaputra dianggap tidak sepadan. Sekecap nyata, Batara Kanekaputra berubah wujud menjadi pendek, gemuk dan cebol. Melihat perubahan tubuhnya, Hyang Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Manikmaya, tetapi semuanya sudah terlanjur. Hyang Manikmaya pun meminta maaf kepada Kanekaputra bahwa dirinya tidak dapat merubah lagi bentuk rupa Kanekaputra. Hyang Ismaya dan Antaga menasehati Kanekaputra untuk dapat menerima cobaan tersebut dengan kelapangan jiwa. Dan kepada Manikmaya mereka pun menasehati agar tidak gegabah dalam menyabdakan Kawrastawam yang bercampur dengan nafsunya, sehingga nantinya akan menjadi malapetaka yang akan merugikan banyak orang. Sejak saat itu Hyang Kanekaputra lebih dikenal dengan nama barunya yaitu Batara Narada.
Puncak Tengguru diliputi awan hitam kelam. Candradimuka menggelegar-gelegar memuntahkan lahar dan api panasnya. Saat itu juga kahyangan Suralaya dihampar hawa panas, menyebabkan para penghuninya merasa was-was, ada apa gerangan yang bakal terjadi? Hyang Manikmaya dengan aji Pengabarannya mencari tahu apa gerangan yang menjadi penyebab mengamuknya kawah Candradimuka. Melalui kesaktiannya itu Manikmaya akhirnya mengetahui apa dan siapa dibalik peristiwa tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk mendatangi Sang Hyang Kanekaputra di samudralaya.
Nun jauh di tengah samudralaya, Manikmaya melihat seberkas sinar yang memancar dari sosok seorang kesatria dewa yang sedang melakukan tapabrata. Pancaran sinarnya mampu meredam gelombang ombak yang bergemuruh di tengah lautan, tubuhnya tidak sedikit pun basah oleh air laut. Manikmaya kagum dengan kesaktian kesatria rupawan yang tidak lain adalah Sang Hyang Kanekaputra. Lalu Sang Hyang Manikmaya membangunkan dan menanyakan maksud dari tapabrata Kanekaputra yang telah mengguncangkan kawah Candradimuka. Yang ditanya tetap diam, membisu dan masih memejamkan mata. Hyang Manikmaya kembali menggugah dan menanyakannya. Yang ditanya masih saja diam, membisu dan masih tetap memejamkan mata. Hyang Manikmaya merasa kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, ia lalu berniat mengeluarkan pusaka dewata untuk mengugahnya, tapi sebelum niat Manikmaya terlaksana tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan tertawa. Ia menertawakan sifat Manikmaya yang dianggap tidak memiliki kesabaran. Manikmaya kembali bertanya tentang maksud dan tujuan dari tapabrata tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan dari yang Manikmaya, Sang Hyang Kanekaputra lebih dulu memperkenalkan jatidirinya sehingga Manikmaya kini tahu bahwa kesatria dewa tersebut adalah masih keturunan Hyang Nurrasa, salah satu leluhurnya.
Sang Hyang Kanekaputra melanjutkan dengan menjawab maksud dan tujuannya melakukan tapabrata adalah tidak lain untuk mengundang Hyang Manikmaya dan menyampaikan keinginannya menjadi kalifah ing dewa (Raja Tribuana). Mendengar itu, Hyang Manikmaya lalu mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Raja Tribuana haruslah memiliki kepandaian dan kesaktian yang dapat diandalkan hingga nantinya akan dapat mempertanggungjawabkan tugas yang akan diemban kelak. Maka, Keduanya lalu saling mengadu pengetahuan dengan saling memberikan pertanyaan dan jawaban. Sang Hyang Kanekaputra memang seorang ahli dalam ilmu pengetahuan, kepandaiannya sangat luar biasa sehingga semua pertanyaan Hyang Manikmaya dapat ia jawab. Dan saat Hyang Manikmaya menanyakan tentang sifat tertua yang tertanam pada diri manusia semenjak lahir, Hyang Kanekaputra mampu menjawabnya dengan cemerlang bahwa sifat tertua yang ada pada diri manusia semenjak lahir adalah sifat ‘keinginan’, karena semenjak manusia dilahirkan di alam dunia, ia sudah berkeinginan. Seperti bayi manusia yang dilahirkan dalam keadaan menangis, ia sudah mempunyai keinginan, hanya saja manusia dewasa saat itu tidak mampu menterjemahkan keinginan yang disuarakan lewat tangisan bayinya.
Hyang Manikmaya mengagumi kecerdasan dan ilmu pengetahuan Hyang Kanekaputra, maka sebagai ujian terakhir adalah mengadu kesaktian. Hyang Kanekaputra menantang Manikmaya, apabila Hyang Manikmaya dapat menggeser tubuhnya dari keadaan duduk sempurna tapabrata di atas laut, maka ia mengaku kalah dan bersedia mengabdi kepada Hyang Manikmaya. Akan tetapi apabila Hyang Manikmaya tidak mampu melakukannya, maka Hyang Manikmaya harus menyerahkan tahta Jonggring Salaka kepada dirinya. Sang Hyang Manikmaya menerima tantangan, ia pun segera menyiapkan aji Kemayan dan kemudian keduanya beradu kesaktian secara batiniah. Larikan sinar berkelebatan diantara dua sosok manusia dewa yang sedang bertarung batin di atas samudralaya. Beberapa saat kemudian seiring dengan derunya gelombang ombak, Hyang Kanekaputra yang tidak sanggup melawan keampuhan aji Kemayan seakan ada sesuatu yang membetot paksa seluruh kesaktiannya keluar dari garbanya. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya dan akhirnya terjebur masuk kedalam laut. Ia timbul tenggelam dilautan dan ia mengakui kekalahannya. Hyang Manikmaya lalu memulihkan kembali kesaktian Hyang Kanekaputra dan sejak saat itu Hyang Kanekaputra mengabdi kepada Hyang Manikmaya, ia mendapat gelar batara dan diberi jabatan sebagai kebayan ing dewa yang artinya adalah manusia dewa kedua setelah Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, atau istliah lainnya adalah Mahapatih.
Pada hari-harinya di Suralaya, Sang Hyang Kanekaputra atau juga Batara Kanekaputra sangat gemar berjenaka. Ia seorang yang periang dan sangat suka bersendawan dengan Hyang Ismaya dan Hyang Antaga, namun kekurangannya adalah terkadang Hyang Kanekaputra tidak bisa membatasi sifat berkelakarnya. Bercandanya kadang keterlaluan, melampaui batas dengan ejekan-ejekan yang dianggapnya sebagai lelucon. Suatu hari Hyang Manikmaya merasa tersinggung ketika melihat Batara Kanekaputra meng-olok-olok Hyang Ismaya dan Hyang Antaga. Perlakuannya dianggap sudah melampuai batas bercanda, maka Hyang Manikmaya pun bersabda bahwa Batara Kanekaputra sebenarnya lebih pantas berpenampilan seperti mereka, sebab ke-elokan dan tingkah laku Kanekaputra dianggap tidak sepadan. Sekecap nyata, Batara Kanekaputra berubah wujud menjadi pendek, gemuk dan cebol. Melihat perubahan tubuhnya, Hyang Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Manikmaya, tetapi semuanya sudah terlanjur. Hyang Manikmaya pun meminta maaf kepada Kanekaputra bahwa dirinya tidak dapat merubah lagi bentuk rupa Kanekaputra. Hyang Ismaya dan Antaga menasehati Kanekaputra untuk dapat menerima cobaan tersebut dengan kelapangan jiwa. Dan kepada Manikmaya mereka pun menasehati agar tidak gegabah dalam menyabdakan Kawrastawam yang bercampur dengan nafsunya, sehingga nantinya akan menjadi malapetaka yang akan merugikan banyak orang. Sejak saat itu Hyang Kanekaputra lebih dikenal dengan nama barunya yaitu Batara Narada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar