Candrabhirawa (Kisah Narasoma) Bag.2
Dikisahkan pula Dewi Kunti yang melahirkan Karna dan Pertemuan Pandu dengan Kunti, Madrim dan Gandhari
Kisah sebelumnya Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma
Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.
Narasoma dan Pujawati telah menetap di
Mandaraka, kehadiran mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu
Mandrapati. Pujawati sangat bersuka cita, kini ia memiliki tempat dan
kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan istana yang megah, dilayani
oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi Tejawati ibu mertuanya,
dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya, mereka selalu
menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.
Pada
suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu Mandrapati
memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua, seakan
ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.
"Narasoma,
saat ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin
menikahkan putrinya, namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap
dan tangguh untuk dijadikan menantu, maka dari itu ia berencana akan
menggelar sayembara. Kepada siapa saja yang dapat memenangkan sayembara,
Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunti Nalibrata.
Seperti
yang ananda tahu, bahwa Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam
darah kita mengalir juga darah mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu
ayahanda ingin ananda mengikuti sayembara agar jalinan kekerabatan kita
menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya, ananda akan dapat
memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai putra mahkota
Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."
Narasoma
tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan bingung,
sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka Dewi Kunti
akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi
ia sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati,
tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat
kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba
menjelaskan kepada ayahandanya.
"Ampun ayahanda prabu,
sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati.
Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah
tidak akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai
seorang kesatria, ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari
itu, bukannya ananda menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda
hanya tidak ingin menduakan Pujawati dengan siapapun."
Prabu
Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau mengikuti sayembara,
tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih, membuat Prabu
Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti kepada
orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati
merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu
Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para
pembesar dan punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga
kerajaan sangat prihatin dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri
sang prabu sangat iba melihat suaminya terbaring lemah di pembaringan,
begitu juga Dewi Madrim yang selalu menangis di samping ayahandanya,
sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun mengurusi ayah mertuanya,
membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi pengobatan.
Narasoma
hanya bisa tertunduk di samping pembaringan ayahandanya. Sebenarnya ia
sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda, ibunda, adik dan
istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung sembuh, maka
Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia berbisik
kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti sayembara.
Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti
untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.
Mandura (Mathura)
Dewi
Kunti Nalibrata (Dewi Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu
Basukunti, ia anak dari Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang
berarti masih kerabat dekat Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat
anak oleh Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada saat itu Prabu
Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang bernama Basudewa,
namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh kerabatnya,
dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti dikaruniai
seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Alkisah, sebenarnya
sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk
menutupi aib yang telah menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan
bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan
keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan
seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana.
Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan mengangkatnya
sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di
istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan
pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti
baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan
gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa
mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan
mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang
dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti menerima japa
mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia
sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah memberi
amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar
dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan
matang, rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra
tersebut.
Ketika itu Dewi Kunti sedang menyendiri di taman
Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya
dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi
Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut
melihat taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di
hadapannya telah berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota
yang bergemerlapan.
"Apa yang kau inginkan dariku, dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Batara Surya.
"Hamba hanya mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah membacakannya ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."
Sejak
saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah
sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara mereka. Dari
kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi
Kunti hamil diluar pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura
menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa
malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga raja-raja
sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu
tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah
muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.
Untuk
menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika
tiba waktunya Dewi Kunti akan melahirkan putra pertamanya dari Batara
Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunti melalui telinga
sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunti tetap
terjaga.
Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti
memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih
dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang
putranya yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui
telinga). Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir
berupa baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul
Maniking Surya itu akhirnya dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga.
Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan Hastinapura.
Salimbara (Sayembara)
Negeri
Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan
raja-raja dari seluruh mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya
alun-alun negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin
menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri
ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi
Kunti Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu para
kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara
mencoba memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk
sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah
seekor burung yang berada dalam sangkar besi yang diputar sangat
kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam sangkar yang
berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu persatu
anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh berjatuhan.
Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam
sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat
menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada
celah-celahnya.
Kegagalan para peserta sayembara sempat
membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka
mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka,
dan ada pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya
sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu
diantara mereka yang mampu memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal.
Telah beberapa hari sayembara digelar, namun belum juga ada peserta
sayembara yang memenangkan pertandingan. Hingga tiba giliran peserta
terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma dari
Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah pada sangkar
besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua yang
hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib
serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para
kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?
Narasoma
melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat
kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar, yang
berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh,
menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus
seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti
beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada
seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.
Narasoma
dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang
telah memenangkan pertempuran di medan perang. Setelah semuanya mereda
menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di pelataran
panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara
datang tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari
mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti
menanyakan jatidiri mereka.
"Siapa gerangan kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan,
nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik
hamba Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura.
Kedatangan kami tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti
Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!..
ternyata kalian dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti
sayembara. Sungguh sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat.
Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti Nalibrata baru saja usai, dan
sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra mahkota Mandaraka."
Para
putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar ditutup karena sudah
ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat, namun saat
ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma
menahannya.
"Jika paduka berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali sayembara. Dalam
pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji ketangguhan
putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah tersohor keberbagai
negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah disegani kawan
dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia
hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu
setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji
kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang
sama dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak
ada yang sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran
Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma
pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah peraturan!"
"Kalau
begitu, biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena
Kunti Nalibrata telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat
keputusan atas Kunti."
Prabu Basukunti sangat tersinggung
dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah
menjadi haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma
dianggap tidak menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja
Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma
adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya sekaligus masih
memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba
menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan kemauannya. Toh, segala
kesombongan tidak akan berakhir baik.
"Aku memberi
kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu
pertaruhan, jika kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan pada
sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika
kau tidak mampu melakukannya, maka negeri Hastina menjadi negeri
taklukan Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut mendengar
perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi para kesatria Kuru
masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan
Narasoma.
"Kedatang kami ke Mandura hanya ingin mengikuti
sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu telah
menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan
turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan
perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu
Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan
Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut
menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang
tersohor itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti
leluhurmu, Baharata. Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata
tidak mengajarimu keberanian sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak
membekalimu?
Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di
depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih
Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan
marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura
membisikinya, agar sang kakak bisa menahan emosi.
"Apakah
kau membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang
Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi
tantangan Narasoma.
"Aku tidak pernah menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak menolak!"
Masih
disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-raja
mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri di
tengah gelanggang, gondewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman.
Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya.
Panah melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang
mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang.
Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu
melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain panah
Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam
sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai
terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.
Narasoma
tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan dengan sangat malu
Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian
pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik Pandu
Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya
ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan
harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata
memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.
Saat
menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah
negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan
laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang seorang
kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma.
Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura,
ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan
gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa
bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring
sakit. Apa yang akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia
harus bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan
sayembara? Atau menceritakan terus terang bahwa kemenangannya telah
digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu hanya akan memperparah
sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan untuk tidak
langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan
kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang
kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka
kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku
akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."
"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."
Keduanya
lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan
yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka
sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai ilmu kanuragan,
dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan Narasoma
yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma
sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.
Perang
semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak porandakan
sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan terbakar.
Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan
jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya
berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin
menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak
membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya,
Resi Bhagaspati.
"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat
ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya
dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga
dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh
kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang
anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan
kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu.
Pegang teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi
Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang resi membisikan langsung
kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya,
ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur
berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya
telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring yang terlihat
menyeramkan.
"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"
Raksasa
Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu
secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu segera
mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa
kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar
dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! setiap percik darah yang membasahi
tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa cebol yang
bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa diperintah,
raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu
terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia
mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan
pusakanya, tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu
menjadi kerepotan menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia
hanya berkelit, menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi
melukai raksasa jejadian Chandrabirawa karena akan semakin bertambah
banyak.
"Duuh... ayahanda Resi Abyasa... ayahanda Bhisma... putramu keteteran menghadapi musuh-musuh ini..."
Pandu
membatin. Ia merasa putus asa menghadapi Chandrabirawa. Dan pada
saat-saat yang kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib dari ayahandanya,
Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening cipta, memusatkan segala
nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tunggal.
Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat musuhnya
tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun
mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi
lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta
raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus
berkurang hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa
melesat kembali masuk ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa
berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya melawan orang-orang
yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak menyia-nyiakan
kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam kebingungan.
Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan Pandu
beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba
bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya
Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke
Hastinapura.
Pandu beserta rombongan kembali melakukan
perjalanan pulang ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali
dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu
Suwala dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat
mengikuti sayembara segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.
Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding, tetapi
pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara
bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat
membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji
akan memboyong kakaknya, Dewi Gandhari ke Hastinapura.
"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"
Hastinapura
mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi
Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara.
Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan Destarata, Pandu
Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga
putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura
memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa
dalam memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata
sebagai putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu
diantara ketiga putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri
sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra,
apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka
ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.
Dewi
Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya
dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak terpilih oleh
Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri, menggunakan
indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir ikan yang
berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya pada
panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata
memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.
Pandu
Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura menggantikan
Praburesi Abyasa (Prabu Krisna Dwipayana) yang mandita di Wukir Retawu.
Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari
rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa
Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan
dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.
Sementara,
Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan
ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar
kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi raja
Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma
dianugerahi lima orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi istri
Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi
Banowati (kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata.
Hanya saja, salah satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama
Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa. Ini dikarenakan dahulu
Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar