Awal Sebuah Pertikaian
Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.“Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”
“Eyang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu.”
“Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”
“Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”
“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat onar di beteng jero ini”
“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.
Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.
Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.
“Huaa ha ha…! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa …” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”
Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.
“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”
“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan.”
“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”
“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”
Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”
Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.
“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”
Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.
“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura.”
Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar