Lahirnya Rahwana
Jambumangli
merasa sangat kecewa dan marah setelah mendengar bahwa sayembara telah
ditutup. Ia segera menghadap Prabu Sumali untuk mempertanyakan alasan
ditutupnya sayembara. Dengan berat hati Prabu Sumali menceritakan semua
peristiwa yang terjadi antara resi Wisrawa dan dewi Sukesi di dalam
pesangrahan, dan kini resi Wisrawa telah diangkat sebagai suami dewi
Sukesi secara sah. Mendengar penjelasan Prabu Sumali, Jambumangli
marah. Ia mengamuk sambil berteriak-teriak mengancam Wisrawa. Ia
bergegas mendatangi pesangrahan tempat tinggal dewi Sukesi dan resi
Wisrawa. Tidak ada yang bisa menghalangi Jambumangli. Bukan karena
Jambumangli merupakan salah satu keluarga Prabu Sumali, tetapi juga
Jambumangli adalah senopati perang Alengka yang sangat sakti
mandraguna. Tidak ada seorang pun di negara Alengka yang mampu
menandingi kesaktiannya, bahkan konon kesaktian dan kekejaman
Jambumangli telah tersohor hingga ke mancanegara. Banyak raja-raja dan
kesatria yang binasa ditangan Jambumangli saat mengikuti sayembara
perebutan dewi Sukesi.
Dihadapan
Wisrawa, Jambumangli berkoar. Hatinya yang dibakar cemburu mencaci
maki Wisrawa. Jambumangli menuding Wisrawa telah berbuat licik dan
pengecut.
" Dulu aku menghormatimu
sebagai seorang resi yang mengemban kebenaran dan kesucian, tapi kini
semua penghormatan itu telah pupus sirna, runtuh bersama kelicikanmu
yang mirip sekali dengan srigala. Apakah kau tidak malu Wisrawa ? Kau
telah merenggut kesucian cinta putramu sendiri!"
Di
hadapan keluarga dan pembesar Alengka, Jambumangli tidak
henti-hentinya mencaci maki Wisrawa. Ia menantang Wisrawa untuk
melakukan perang tanding adu kesaktian.
Resi
Wisrawa yang tadinya hanya diam tertunduk, lama kelamaan telinganya
menjadi panas oleh caci maki Jambumangli, hatinya pun terasa sangat
sakit oleh hinaan Jambumangli. Apalagi mengingat Jambumangli yang
sebenarnya menyimpan rasa suka terhadap dewi Sukesi, maka terbakarlah
segala nafsu amarah Wisrawa. Angkara murka tidak terkendalikan lagi
diantara keduanya hingga diantara mereka kini sudah terlibat baku
hantam. Perang tanding tidak terelakan lagi antara Wisrawa dan
Jambumangli. Saling tendang, saling pukul, dan sama-sama saling
mengeluarkan aji-aji kesaktian. Perang hebat antara keduanya disaksikan
langsung oleh seluruh keluarga dan pembesar kerajaan Alengka, tidak
terkecuali dewi Sukesi dan Prabu Sumali sendiri.
Raksasa
Jambumangli yang adalah senopati agung yang selalu dapat memenangkan
peperangan disetiap medan yuda, tentu memiliki kedigjayaan yang dapat
dibanggakan oleh rakyat dan negara Alengka. Namun, meskipun begitu yang
menjadi lawan tandingnya kini bukanlah seorang biasa. Adalah Wisrawa
seorang begawan yang telah tersohor di seantero jagat, pandita sakti
mandraguna. Dan pada akhirnya Jambumangli tidak sanggup menghadapi
kesatian Wisrawa. Tidak ada senjata atau pusaka sakti yang bisa
diandalkan oleh Jambumangli, semua pusakanya tidak bertuah di hadapan
Wisrawa.
Resi telah dibakar amarah
sehingga tidak memberi kesempatan kepada Jambumangli. Ia mengeluarkan
pusaka Candrasa dari dalam tubuhnya. Pusaka sakti pemberian Brahma itu
dibentangkan dan lalu lepas melesat bagai kilat tatit menggorok
Jambumangli yang saat itu sudah tidak berdaya. Senopati Alengka yang
jumawa jatuh tersungkur, tubuhnya menggelepar-gelepar, suaranya
mengorok seperti seekor hewan buruan yang sedang disembelih. Kematian
Jambumangli sungguh sangat mengenaskan. Betapa tidak, Senopati raksasa
yang sudah tidak berdaya dan tinggal meregang nyawa saja, namun Wisrawa
masih memburunya. Wisrawa yang sudah kesetanan dengan senjata
tergenggam ditangan merobek-robek sekujur tubuh Jambumangli. Dengan
sangat keji Wisrawa memotong-motong tubuh Jambumangli. Kepalanya
dipotong, kedua tangan dan kakinya pun dipotong. Seorang resi yang
selama itu disucikan oleh rakyatnya telah gelap mata, ia tidak lagi
menyadari bahwa Sukesi saat itu sedang mengandung benihnya, maka suatu
saat kelak perbuatan Wisrawa ini akan menjadi hukuman pada salah satu
putranya sendiri. Salah satu putra Wisrawa suatu saat akan mengalami
nasib yang sama dengan Jambumangli.
Senja
kian bergelincir lingsir. Keluarga Alengka dirundung duka. Prabu
Sumali tidak menyangka bahwa resi Wisrawa yang sangat dihormatinya
mampu melakukan perbuatan sadis. Hari berganti hari, bulan pun kian
berganti. Waktu terus berputar beriringan dengan hembusan angin yang
bertiup mengantarkan kabar yang selama ini terkubur bagai bangkai
busuk. Prabu Danaraja di negara Lokapala telah mendengar semua
peristiwa yang terjadi di Alengka. Ia sangat terpukul. Tidak disangka
ayahanda yang sangat dicintai dan dihormatinya itu telah sanggup
melukai hatinya, menodai kehormatannya, dan menghianatinya. Nasi telah
menjadi bubur. Danaraja yang sangat sakit hati dan kecewa tidak
membiarkan begitu saja, ia berkeras akan membalas perlakuan
ayahandanya. Hutang wirang dibayar wirang. Danaraja memerintahkan
senopati Wisnungkara untuk melakukan gelar pasukan menyerang negeri
Alengka. Ribuan pasukan Lokapala yang terdiri dari bala tentara raksasa
dan manusia dengan senjata lengkap, siap tempur di medan yuda.
Prabu
Sumali mendengar kabar akan datangnya serangan dari negeri Lokapala,
ia menyerahkan semuanya kepada resi Wisrawa. Sebab, setelah Wisrawa
telah disahkan menjadi suami dewi Sukesi, maka seluruh kerajaan Alengka
diserahkan kepada Wisrawa. Bagaimanapun Wisrawa menjadi bingung,
hatinya terasa luluh hancur. Ia bukan takut menghadapi perang, tapi
bagaimana mungkin ia bisa berhadapan dengan putranya sendiri di medan
perang? Tidak mungkin! Danaraja adalah putra mahkota yang sangat
dicintainyai.
Perang
besar terjadi antara Lokapala dan Alengka. Dua negara besar yang
sama-sama memiliki kekuatan balatentara yang terdiri dari bangsa
raksasa, kini telah saling berhadapan di medan yuda, hingga genderang
perang bertalu keduanya sudah melakukan begal pati dalam kancah perang.
Suara gemelentrang jamparing, gondewa, parang, tameng dan berbagai
macam senjata perang lainnya saling beradu. Disertai teriakan-teriakan
memekikan membuat suasana tempur menjadi semakin hiruk pikuk dan
mencekam.
Prahasta adik dewi Sukesi
yang kini menggantikan kedudukan Jambumangli sebagai Senopati Alengka,
maju ke medan perang. Dengan sekuat tenaga ia menahan serangan-serangan
prajurit Lokapala yang membabi buta. Prahasta tidak kalah sakti dan
digjayanya dengan Jambumangli, tubuhnya yang besar perkasa bergerak
lincah menerjang dan menghantam balik serangan-serangan lawan. Dilain
pihak, Wisnuwungkur sebagai Senopati Lokapala tidak kalah hebat, dengan
buas ia membunuh prajurit-prajurit Alengka. Prahasta tidak membiarkan
pasukannya luluh lantak, ia segera menghadang Wisnungkara. Dua senopati
agung itu terlibat baku hantam, saling dorong, saling terkam dan
saling banting.
Sementara, Prabu
Danaraja yang telah juga menghunus senjata merangsak maju ke garis
depan. Senjatanya berkelebat-kelebat seperti kilat yang menyambar.
Jeritan-jeritan kematian dari pihak prajurit Alengka melengking
bersahut-sahutan, terbantai oleh tajamnya pedang Danaraja. Setiap
prajurit Alengka yang coba menghadang langkahnya, putus nyawanya.
Danaraja
mengarahkan serangannya pada inti pasukan yang dipimpin Prahasata.
Melihat Wisnungkara yang kualahan menghadapi kesaktian Prahasta,
Danaraja segera membantu. Ia memberi aba-aba kepada Senopatinya untuk
mundur hingga ia kini berhadapan dengan Prahasta. Senopati Alengka
bukanlah tandingan Danaraja. Raja Lokapala itu tidak mudah untuk
dikalahkan, ia tidak bisa mati. Selama bumi masih dipijak, Danaraja
tidak bisa mati. Hingga pada waktu yang sangat kritis Prahasta sudah
berada diujung pusaka Danaraja. Namun sebelum Danaraja menusukan
pusakanya kepada Prahasta, satu suara menghentikan gerakannya. Satu
suara yang sangat tidak asing bagi Danaraja, suara yang sangat ia
kenali, Wisrawa. Resi Wisrawa telah berdiri dihadapan Danaraja, tetapi
ia tidak membawa senjata layaknya seorang senopati perang. Ia mengakui
segala kekhilafannya dan meminta kepada Danaraja untuk mengakhiri
peperangan. Wisrawa menyadari bahwa peperangan itu disebabkan oleh rasa
sakit hati putranya terhadap dirinya, namun ia merasa tidak sanggup
jika harus berhadapan perang dengan putra yang sangat disayanginya itu.
Ia tidak ingin mengulang dosa yang kedua kali terhadap putranya.
Wisrawa berserah pasrah atas hukuman yang akan dijatuhkan oleh
putranya. Dilain pihak Danaraja yang sudah terbakar amarah tidak bisa
memaafkan ayahandanya. Penghianatan itu harus berbalas dengan kematian.
Begitu yang terpikir oleh Danaraja. Bukan hanya dirinya yang merasa
terhianati tetapi juga ibunya. Maka, ketika mata hati Danaraja sudah
tertutup dendam, pusaka sakti Gandik Kencana terlepas dari werangkanya
dan menghunjam tubuh Wisrawa. Resi tua bahari itu tersungkur dihadapan
Danaraja. Tanpa mampu berkata-kata lagi Wisrawa terlepas dari nyawanya.
Pekik
sorak kemenangan pasukan Lokapala membahana di seantero medan perang.
Dilain pihak, balatentara Alengka yang sudah pupus nyalinya meletakan
senjata mereka, pertanda menyerah takluk. Namun tiba-tiba diantara
ribuan manusia dan raksasa datang seorang wanita yang dalam keadaan
hamil tua berlari sambil menjerit-jerit menangis mendekati jasad Wisrawa
yang masih terbujur dihadapan Danaraja. Wanita itu jatuh tersungkur
dihadapan jasad suaminya. Berbarengan dengan itu, sebelum dewi Sukesi
melakukan belapati dengan menghunjamkan sebilah pisau di dadanya, ia
sempat melahirkan anak2nya dihadapan jasad Wisrawa.
-
Bayi pertama laki-laki terlahir dengan disertai darah berwarna merah
(bersifat Amrah / Angkara), kelak ia akan menjelma menjadi Rahwana.
-
Bayi yang kedua terlahir dengan disertai darah berwarna kuning
(bersifat Lawwamah / Keinginan), kelak ia akan menjelma menjadi
Kumbakarna.
- Bayi yang ketiga
perempuan terlahir dengan disertai darah berwarna hitam (bersifat
Sufiah / Rencana jahat), kelak ia akan menjelma menjadi Sarpakaneka
-
Bayi yang terakhir laki-laki terlahir disertai darah berwarna putih
(bersifat Mutmainah / Yang dirahmati), kelak ia akan menjelma menjadi
Gunawan Wibisana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar