Karna
Aku dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Dewi Kunthi atau Dewi
Prita, anak Prabu Basukunti alias Kuntiboja raja negara Mandura. Menurut
cerita yang aku terima dari ramanda Batara Surya, aku dilahirkan
melalui telinga, oleh karenanya aku diberi nama Karna yang artinya
telinga. Aku sendiri juga heran dan bertanya-tanya, benarkah aku
dilahirkan melalui telinga Ibu Kunti? Sungguh ajaib. Bagaimana hal itu
bisa terjadi? untuk memenuhi rasa ingin tahuku, Ramanda Batara Surya
menceritakan peristiwa seputar kelahiranku. Diceritakan bahwasanya Ibu
Kunthi adalah sosok wanita yang cantik jelita, cerdas, luwes, patuh dan
sabar. Oleh karena kelebihannya, Eyang Prabu Basukunti mempercayakan
kepada Ibu Kunti untuk melayani tamu-tamu negara.
Pada suatu waktu Negara Mandura kedatangan tamu seorang Begawan sakti yang bernama Begawan Druwasa. Ia sangat puas atas pelayanan Kunti. Sebagai tanda terimakasihnya Begawan Druwasa memberikan kepada Kunti sebuah mantra sakti yang bernama Aji Adityar Hedaya atau Aji Dipamanunggal atau disebut juga Aji Pameling. Mantra sakti tersebut berdayaguna untuk mendatangkan dewa sesuai dengan yang diinginkan.
Pada suatu waktu Negara Mandura kedatangan tamu seorang Begawan sakti yang bernama Begawan Druwasa. Ia sangat puas atas pelayanan Kunti. Sebagai tanda terimakasihnya Begawan Druwasa memberikan kepada Kunti sebuah mantra sakti yang bernama Aji Adityar Hedaya atau Aji Dipamanunggal atau disebut juga Aji Pameling. Mantra sakti tersebut berdayaguna untuk mendatangkan dewa sesuai dengan yang diinginkan.
Selain hal-hal positif yang ada pada sosok Kunthi, ada hal-hal
negatif yang dimilikinya, salah satunya adalah kebiasaan bangun siang.
Pada suatu hari ketika Kunti bangun tidur, ia tidak dengan serta merta
meninggalkan pembaringannya. Ia ingin merasakan keindahan dan merasakan
kehangatan sinar matahari yang masuk di kamarnya. Melihat sinar matahari
yang mengenai tubuhnya, Kunti membayangkan sosok Batara Surya, dewa
rupawan yang menguasai matahari. Tiba-tiba Kunti teringat mantra sakti
Aji Pameling pemberian Begawan Druwasa. Sebagai dara belia, ia tergoda
untuk mencoba mengetrapkan ajian tersebut. Maka kemudian dibacanya
mantra sakti tersebut. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada saat selesai
membaca mantra Aji Pameling, seusai Kunti mengerdipkan matanya,
tiba-tiba di tilamsari tempat Kunti berbaring telah hadir Dewa Surya,
Dewa penguasa matahari.
Sosok yang diangankan telah hadir disampingnya, tidak ada lagi yang
membedakan antara angan dan kenyataan. Ketika ke duanya hadir dalam
waktu yang bersamaan, tidak ada lagi yang menghalangi, keduanya akan
menjadi satu. Angan yang menguasai pikiran dan kenyataan yang menguasai
raga saling berpuletan erat. Keduanya berada antara alam mimpi dan alam
nyata.
Namun pada kenyataan setelah kejadian tersebut Dewi Kunti mengandung.
Atas kejadian tersebut Prabu Basukunti marah luar biasa. Ia memanggil
Begawan Druwasa untuk meminta pertanggungjawabannya atas pemberian Aji
Pameling kepada Kunti yan masih belia. Sesungguhnya yang dilakukan
Begawan Druwasa tersebut untuk menolong Kunti. Karena menurut pesan gaib
yang diterima Begawan Druwasa, bahwa pada suatu saat nanti Kunti sangat
membutuhkan Aji Adityar Hedaya. Namun sayang belum tiba waktunya Kunti
telah mencoba mantra aji Pameling kepada Dewa Surya.
Begawan Druwasa tahu resikonya jika seorang dara belia mempunyai aji
Pameling. Maka dari itu ia bertanggungjawab atas resiko yang terjadi.
Maka ketika usia kandungan Kunti sudah berumur sembilan bulan lebih
sepuluh hari, dengan kesaktiannya Begawan Druwasa membantu kelahiran
bayi. Dengan mantra saktinya yang menyatakan bahwa Aji Adityar Hedaya
yang pada mulanya masuk melalui telinga menuju ke angan Kunti, meresap
di hati, di tubuh dan kemudian menggumpal menjadi sosok bayi, akan
dikeluarkan melalui telinga pula. Itulah keajaiban. Begawan Druwasa
membopong kelahiran bayi yang keluar melalui lobang yang sama seperti
ketika pada mulanya benih itu masuk. Dan dinamakan bayi itu Karna, yang
berarti telinga.
Upaya melahirkan bayi melalui telinga adalah perwujudan tanggung
jawab Begawan Druwasa untuk memulihkan keperawanan Kunti, bahwa Kunti
masih gadis, belum beranak. Maka keberadaan bayi tersebut dianggap aib,
Oleh karena harus di buang dilarung ke sungai Gangga agar jauh
meninggalkan negara Mandura, demikian perintah Prabu Basukunti.
Sebelum Karna dihanyutkan di sungai, ada satu hal yang masih diingat
oleh Kunthi bahwa bayi Karna memakai Anting Mustika dan Kotang Kerei
Kaswargan pemberian Dewa Surya.
Sejak bayi yang tidak berdosa tersebut dihanyutkan di sungai Gangga
nama Karna sengaja dihapus dari negara Mandura. Terbukti Prabu Basukunti
menggelar sayembara, bagi siapa saja yang dapat memenangkan sayembara
berhak memboyong putri kedhaton Mandura yaitu Dewi Kunti.
Cerita selanjutnya mengenai diriku aku dapatkan dari Bapa Adirata
seorang sais kereta kraton Hastinapura, sewaktu pemerintahan Prabu
Kresna Dwipayana dan Prabu Pandudewanata.
Pada suatu pagi, ketika Adirata sedang membasuh badannya di Sungai
Gangga, ia terkejut melihat dari kejauhan sebuah benda yang
berkilau-kilau. Tanpa pikir panjang Adirata berenang menyongsong benda
tersebut. Lebih terkejut setelah diketahui bahwa benda berujud peti
kecil terbuka yang dinamakan gendaga tersebut berisi bayi mungil yang
memakai pakaian perang yaitu Kotang Kerei Kaswargan, semacam baju Zirah
dan Anting Mustika. Dengan raut muka berbinar-binar, Adirata memondong
gendaga dan bergegas membawanya pulang. Adirata menjadi tidak sabar
untuk segera mengabarkan kabar sukacita ini kepada Rada isterinya.
Bagaiakn kejatuhan rembulan sepasang suami isteri setengah baya
tersebut mendapatkan bayi yang selama ini didamba. Apalagi bayi tersebut
bukanlah bayi sembarangan, jika dilihat dari kedua benda yang melekat
di tubuhnya dan perlengkapan yang disertakan.
Adirata dan Rada merawat bayi yang ditemukan dengan ketulusan dan
kasih sayang. Selain bernama Karna sesuai dengan tulisan yang
disertakan, bayi tersebut kemudian diberi nama Wasusena karena waktu
diketemukan memakai pakaian perang. Sedangkan orang-orang disekitarnya
menyebut Karna dengan nama panggilan Radeya yang artinya anak dari Nyai
Rada.
Karna tumbuh menjadi anak yang cerdas berani dan jujur. Adirata dan
Nyai Rada bangga karenanya. Setelah menginjak dewasa, Karna sering
berpetualang sendirian. Belajar ilmu ke sana-kemari. Ketika pada suatu
waktu Karna lewat di Sokalima, ia kepengin sekali bergabung dengan para
Kurawa dan para Pandawa untuk bersama-sama berguru kepada Durna. Tetapi
keinginannya tidaklah mungkin kesampaian, dikarenakan Karna bukanlah
termasuk golongan ksatria. Ia hanyalah anak seorang sais kereta. Anak
seorang sais kereta pantasnya juga menjadi sais kereta. Pemahaman
seperti itulah yang ada pada Adirata, maka kemudian diberikanlah sebuah
kereta kuda agar dipakai Karna untuk belajar menjadi sais.
Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan gejolak jiwa yang ada,
Karna tidak menolaknya, malahan kereta kuda pemberian Adirata tersebut
dijadikan alat untuk latihan perang-perangan. Usaha Karna untuk
mendapatkan ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak pernah berhenti hanya karena
tidak diperkenankan bergabung menjadi satu perguruan dengan para ksatria
Pandawa dan Kurawa. Karna tetap gigih berusaha untuk mendapatkan guru
sakti yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kesaktian Durna. Karena
usahanya yang tak berkesudahan, Karna akhirnya menemukan guru sakti yang
ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah, yang bernama Rama Parasu.
Namun dikarenakan Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang
ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna
menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu.
Dengan menyamar sebagai brahmana Karna diterima menjadi murid Rama
Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas.
Tidak lama kemudian Karna telah menjelma menjadi seorang remaja yang
mempunyai ilmu tingkat tinggi, yang tidak kalah jika dibandingkan dengan
ilmu para ksatria Pandawa dan Kurawa.
Versi Wikipedia :
Karna (Sanskerta: कर्ण; Karnna) adalah nama
raja Angga yang merupakan tokoh antagonis penting
dalam wiracarita
Mahabharata.
Ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa.
Padahal sesungguhnya, Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima
Pandawa (Yudistira,
Bimasena,
dan Arjuna).
Dalam bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak
Korawa, di mana ia akhirnya gugur di tangan Arjuna.
Karna merupakan sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun
berada di pihak antagonis, namun ia terkenal sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kesatria. Sifatnya angkuh, sombong, suka membanggakan diri, namun
juga seorang dermawan yang murah hati kepada siapa saja, terutama fakir miskin
dan kaum brahmana. Kesaktiannya yang luar biasa membuat namanya terkenal
sepanjang masa dan disebut dengan penuh penghormatan.
Kelahiran
Mahabharata
bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari
ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa.
Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu
kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat anugerah
putra darinya.
Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari
terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap
memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena ia sebenarnya
hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan
dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang
dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya juga membantunya segera melahirkan bayi
tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.
Dalam asuhan Adirata
Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan
sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama
Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus
sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru
(atau Kerajaan
Hastinapura). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut
sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan
anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena pun diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga ia
dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya
yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha"
(istri Adirata). Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya
justru berkeinginan menjadi seorang perwira kerajaan. Adirata pun
mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona
yang saat itu sedang mendidik para Pandawa
dan Korawa.
Akan tetapi, Drona menolak menjadikan Radheya sebagai murid karena ia hanya
sudi mengajar kaum ksatriya saja. Radheya yang sudah bertekad bulat memutuskan
untuk mencari guru lain, dan ia pun menyamar menjadi kaum Brahmana agar
mendapatkan pendidikan dari Parasurama. Parasurama adalah guru dari Bhisma dan
Guru Drona, jadi, Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari Guru Drona.
Malangnya, Ia ketahuan berbohong lalu ia dikutuk oleh Parasurama agar ilmu yang
diajarkannya tidak berguna lagi untuk Karna.
Dalam bahasa Sanskerta istilah Karna bermakna
"telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir
melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau
"terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau
Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.
Menjadi raja Angga
Ketika tiba waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa
dan Korawa
di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura,
ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap
pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa
nomor tiga) adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba
Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku pendeta
istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk
menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar permintaan
itu, Karna pun tertunduk malu.
Duryodana
(Korawa tertua) maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak
harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Namun apabila peraturan mengharuskan demikian,
Duryodana memiliki jalan keluar. Ia mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra
raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga.
Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu menolak permintaan putra
kesayangannya itu. Maka pada hari itu juga, Karna pun resmi dinobatkan menjadi
raja Angga.
Adirata
muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna
adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena
(Pandawa nomor dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas
bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi
Duryodana tampil membela Karna.
Suasana semakin tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun yang menyadari
kalau Kunti
jatuh pingsan di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung
mengenalinya sebagai putra sulung yang pernah ia buang dari pakaian perang dan
perhiasan pemberian Surya
yang melekat di tubuh Karna.
Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari.
Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan antara Karna
melawan Arjuna pun tertunda. Sejak saat itu dimulailah persahabatan antara
Karna dengan Duryodana, pemimpin para Korawa.
Penolakan Dropadi
Dropadi
adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat
banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryodana.
Dalam hal ini, Drupada
(raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara
memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut.
Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena,
namun tidak boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui bayangannya
yang terpantul di dalam baskom berisi minyak. Akan tetapi, jangankan membidik
boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta
tidak ada yang sanggup, termasuk Duryodana yang perkasa sekalipun.
Karna kemudian maju setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan. Dengan penuh
rasa hormat, ia berhasil mengangkat busur pusaka mahaberat itu dan siap
membidik sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan keberatan apabila
Karna sampai berhasil memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah
dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati
mendengarnya. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi
perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara
sulit tersebut selain dirinya.
Ucapan Karna membuat Drupada merasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka
pendaftaran baru untuk siapa saja yang ingin menikahi Dropadi, tanpa harus
berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana
maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan
olehnya.
Pembalasan untuk Dropadi
Arjuna
kemudian mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat
yang sebenarnya, Kunti
langsung memutuskan supaya "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima.
Akibatnya, kelima Pandawa
pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi melaksanakan
amanat sang ibu.
Beberapa waktu kemudian, para Pandawa berhasil membangun sebuah kerajaan
indah bernama Indraprastha yang membuat pihak Korawa merasa
iri. Melalui permainan dadu
yang sangat licik, mereka berhasil merebut Indraprastha dari tangan Pandawa,
termasuk kemerdekaan kelima bersaudara itu. Pada puncaknya, Yudistira
(Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan Dropadi demi melanjutkan permainan.
Dropadi akhirnya jatuh pula ke tangan Korawa. Duryodana
kemudian menyuruh Dursasana untuk menyeret Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun
dijambak dan diseret oleh Korawa nomor dua itu menuju ruang permainan.
Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Dropadi mengumumkan bahwa
seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan
pelacur.
Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak akan membunuhnya. Duryodana pun
memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat
pertolongan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.
Kutukan para brahmana
Karna pernah berguru kepada Parasurama yang juga pernah mengajar Drona. Brahmana gagah
berumur panjang tersebut memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya.
Untuk itu, Karna harus menyamar sebagai brahmana
muda agar bisa mendekatinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil menjadi murid
Parasurama.
Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul
seekor serangga
menggigit paha Karna. Demi menjaga agar Parasurama tidak terbangun, Karna
membiarkan pahanya terluka sedangkan dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika
Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran
darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa
muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatriya asli.
Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat
pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan
lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak
mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana
pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam
lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.
Pusaka Vasavi shakti atau Konta
Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir
melalui anugerah Dewa
Indra.
Menyadari kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna kelak sampai kalah
jika bertanding melawan putra Surya itu. Maka, Indra pun merencanakan merebut
baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang pendeta. Konon, jika
mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis
apa pun.
Rencana Indra terdengar oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna. Namun Karna
sama sekali tidak risau. Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan
sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.
Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui
Karna saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan
anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang
melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu
menerimanya. Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa
Vasavi shakti atau Konta (yang bermakna "tombak")
sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa digunakan
sekali saja, setelah itu ia akan musnah.
Terbukanya jati diri
Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan
dadu berakhir, para Pandawa pun muncul kembali untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan
Indraprastha. Pihak Korawa menolak dan memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan
perang. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam kesempatan itu, Kresna
menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa Karna
dan para Pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung
dengan Pandawa, tentu Yudistira akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap. Ia menghadapi dilema
yang sangat besar. Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada
pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana
yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para
Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap
Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
Setelah pertemuan dengan Kresna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti. Kunti menemui putra
sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya mau
memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa.
Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu
membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri
sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian,
Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang kelak, ia
tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
Dalam pewayangan
Jawa, terdapat beberapa
perbedaan mengenai kisah hidup Karna dibandingkan dengan versi aslinya. Menurut
versi ini, Karna mengetahui jati dirinya bukan dari Kresna,
melainkan dari Batara Narada.
Dikisahkan bahwa, meskipun Karna mengabdi pada Duryodana,
namun ia berani menculik calon istri pemimpin Korawa tersebut
yang bernama Surtikanti putri Salya. Keduanya memang terlibat hubungan asmara. Orang yang
bisa menangkap Karna tidak lain adalah Arjuna.
Pertarungan keduanya kemudian dilerai oleh Narada dengan menceritakan kisah
pembuangan Karna sewaktu bayi dulu.
Karna dan Arjuna kemudian bersama-sama menumpas pemberontakan Kalakarna raja
Awangga, seorang bawahan Duryodana. Atas jasanya itu, Duryodana merelakan
Surtikanti menjadi istri Karna, bahkan Karna pun diangkat sebagai raja Awangga
menggantikan Kalakarna. Dari perkawinan itu lahir dua orang putra bernama
Warsasena dan Warsakusuma. Adapun versi Mahabharata
menyebut nama putra Karna adalah Wresasena, sedangkan nama istrinya tidak
diketahui.
Perbedaan selanjutnya ialah pusaka Konta yang diperoleh Karna bukan anugerah
Batara Indra,
melainkan dari Batara Guru. Menurut versi ini Senjata Konta
disebut dengan nama Kuntawijayadanu, sebenarnya akan diberikan kepada
Arjuna yang saat itu sedang bertapa mencari pusaka untuk memotong tali pusar
keponakannya, yaitu Gatotkaca putra Bimasena. Dengan bantuan Batara Surya,
Karna berhasil mengelabui Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menemui
Arjuna.
Surya yang menciptakan suasana remang-remang membuat Narada mengira Karna
adalah Arjuna. Ia pun memberikan Kuntawijaya kepadanya. Setelah menyadari
kekeliruannya, Narada pun pergi dan menemukan Arjuna yang asli. Arjuna berusaha
merebut Kuntawijaya dari tangan Karna. Setelah melewati pertarungan, Arjuna
hanya berhasil merebut sarung pusaka itu saja. Meskipun demikian, sarung
tersebut terbuat dari kayu Mastaba yang bisa digunakan untuk memotong tali
pusar Gatotkaca. Anehnya, sarung Kunta kemudian masuk ke dalam perut Gatotkaca
menambah kekuatan bayi tersebut. Kelak, Gatotkaca tewas di tangan Karna.
Kuntawijaya musnah karena masuk ke dalam perut Gatotkaca, sebagai pertanda
bersatunya kembali pusaka dengan sarung pembungkusnya.
Menurut versi Jawa, pusaka pemberian Indra bukan bernama Konta, melainkan
bernama Badaltulak. Sama dengan versi aslinya, pusaka ini diperoleh
Karna setelah pakaian perangnya diminta oleh Indra.
Karna versi Jawa sudah mengetahui bahwa ia adalah kakak tiri para Pandawa
sejak awal, yaitu menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, kedatangan Kresna
menemuinya sewaktu menjadi duta ke Hastinapura
bukan untuk membuka jati dirinya, namun hanya untuk memintanya agar bergabung
dengan Pandawa.
Karna menolak dengan alasan sebagai seorang kesatria, ia harus menepati
janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryodana.
Kresna terus mendesak bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah
menumpas angkara murka. Dengan membela Duryodana, berarti Karna membela angkara
murka. Karena terus didesak, Karna terpaksa membuka rahasia bahwa ia tetap
membela Korawa supaya bisa menghasut Duryodana agar berani berperang melawan
Pandawa. Ia yakin bahwa angkara murka di Hastinapura akan hilang bersama
kematian Duryodana, dan yang bisa membunuhnya hanya para Pandawa. Karna yakin
bahwa jika perang meletus, dirinya pasti ikut menjadi korban. Namun, ia telah
bertekad untuk menyediakan diri sebagai tumbal demi kebahagiaan adik-adiknya,
para Pandawa.
Dalam perang tersebut Karna akhirnya tewas di tangan Arjuna. Namun versi
Jawa tidak berakhir begitu saja. Keris pusaka Karna yang bernama Kaladite
tiba-tiba melesat ke arah leher Arjuna. Arjuna pun menangkisnya menggunakan
keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua pusaka itu pun musnah bersama.
Surtikanti datang ke Kurusetra bersama Adirata.
Melihat suaminya gugur, Surtikanti pun bunuh diri di hadapan Arjuna. Adirata
sedih dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik ayah angkat
Karna tersebut sehingga lari ketakutan. Namun malangnya, Adirata terjatuh dan
meninggal seketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar