Arjuna dan Ekalaya (Dua murid berseteru)
Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa
dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya melepaskan anak panah dari
jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun ternyata tindakan yang
dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya anjing yang
terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik penduduk
sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut
ternyata anjing pelacak milik Harjuna.
Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan
menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega
atas keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa
sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka
Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran
Sokalima.
Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari
kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk
mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua
sahabatnya Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman
untuk sementara.
Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna,
namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman,
tindakan itu merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak
beberapa lama sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di
sanggar Ekalaya.
Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah.
Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa
itu sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun
yang memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di
sekitarnya. Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat
ini masih aktif digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya?
Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi di mana ia?
Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut,
perlahan-lahan dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai
mendidih.
“Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku, satria Madukara Raden Harjuna.”
Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang
masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang
yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna
menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya
secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai
muridnya.
“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai
raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami
sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat
murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang
muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini
pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua
perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia
yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”
“Herjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan
sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas
bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah
memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di
Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya
sebagai murid.”
“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”
Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain,
hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong
cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang
dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak
mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan
Harjuna dan empat saudaranya.
Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah
tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak
diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima,
Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan
pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera
bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana
ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.
Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin
menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan
cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna
dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan
Ekalaya, Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna
untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan
Harjuna.
Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan
Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk
menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka
saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada
Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan
tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia
telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang
tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan
itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan
gejolak hatinya yang sangat luar biasa.
Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan
mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing
jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu
memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni,
wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat.
Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan
isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya
tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain,
termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan
bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang
mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan
mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu
dari Negara Paranggelung tersebut.
Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api
cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai
isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian
bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.
“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”
“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”
“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”
“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju
kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau
dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan,
engkau pun menjadi guruku.”
“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”
Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa
Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang
tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik
gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.”
pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.
“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?”
Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi
raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka
dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang
tidak mudah dikendalikan.
Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus
dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima
hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada
Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit
bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun
ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu
menyelamatkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar