Arjuna dan Ekalaya (Meninggalnya Ekalaya)
Tidak seperti malam ini, Anggraeni yang biasanya kuat, tegar tak mengenal takut, tiba-tiba hatinya berdesir cemas.
“Ada apa Kakangmas?”
“Harjuna menantangku melalui daya aji Pameling.”
“Harjuna?!”
Ekalaya mengangguk lemah.
“Ia tidak ingin melibatkan rakyat Paranggelung, cukup Aswatama yang dijadikan saksi.”
“Apakah Kakangmas akan memenuhi tantangan itu?”
“Ya, sebagai seorang ksatria.”
“Dengan kondisi lemah tak berdaya?”
“Iya Anggraeni. Apakah menurutmu lebih baik aku bersembunyi, tidak memenuhi tantangannya?”
Anggraeni menggeleng lemah.
“Memang seorang ksatria lebih memilih memenuhi tantangan daripada
bersembunyi. Tetapi memenuhi tantangan dengan kondisi yang tak berdaya
bukankah sama halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak memilih bunuh diri Anggraini, aku akan berperang tanding.”
“Perang tanding? Dengan Harjuna yang sakti mandraguna?”
“Iya Anggraeni, perang tanding dengan Harjuna yang sakti mandraguna dan tampan!”
“Oh, bukan maksudku…”
Anggraeni tersadar bahwa kata-katanya telah membuat Ekalaya cemburu.
“Maafkan aku Kakangmas, aku telah salah bicara. Aku tidak bermaksud
mengunggulkan Harjuna, tetapi bukankah saat ini Kakangmas Ekalaya belum
mampu menarik anak panah dari busurnya.”
“Aku tidak takut Anggraeni.”
“Aku percaya bahwa Kakangmas Ekalaya tidak pernah merasa takut,
tetapi bukankah Kakangmas juga mempunyai perhitungan yang cermat dan
matang terhadap calon lawannya.”
Ekalaya bimbang. Dari luar ia kelihatan diam seribu bahasa, namun di
dalam hatinya ramai akan berbagai macam pertimbangan yang harus dipilih.
Bersembunyi atau berperang tanding. Jika bersembunyi apa alasannya,
namun jika memenuhi tantangan apa andalannya. Lama keduanya terdiam.
Anggraeni memberi kesempatan sepenuh-penuhnya kepada suaminya untuk
memutuskan langkah.
Permenungan Ekalaya menukik masuk ke jagad jati diri Ekalaya yang
paling dalam. Di sana tergambar sebuah peristiwa yang menakjubkan.
“Di sebuah padang rumput hijau segar dengan ditumbuhi bunga seribu
warna dan kolam yang jernih airnya yang berbatas cakrawala, aku berjumpa
dengan makhluk bercahaya putih kemilau, di depan gapura megah menjulang
ke langit. Suasananya sejuk tanpa semilirnya angin, dan terang tanpa
sinar matahari.
“Selamat datang Ekalaya, tugasmu telah aku anggap selesai. Aku
menyambutmu dengan suka cita. Maukah engkau tinggal bersamaku sekarang
juga dan untuk selamanya?” sambut makhluk bercahaya putih itu sembari
tangannya menunjuk pada pintu gerbang di belakangnya. Aku tercengang
dibuatnya karena tiba-tiba saja makhluk bercahaya putih kemilau itu
lenyap dari hadapanku. Tinggallah aku sendirian di tempat itu.
Walaupun sebelumnya yang ada di sekitarku, seperti rumput, aneka
bunga, air mega dan yang lainnya pernah aku lihat, saat ini suasananya
berbeda sama sekali Aku merasa damai tenteram tinggal dalam suasana
seperti itu. Lama ditunggu, makhluk bercahaya tersebut tidak muncul
lagi. Aku mencoba bangkit berdiri menuju pintu gerbang nan indah
menjulang. Karena aku berkeyakinan bahwa makhluk bercahaya tersebut ada
di dalamnya.
Aku beranikan diri naik di tangga gerbang. Wouw! Luar biasa! Dengan
apa aku harus menceritakan suasana indah yang demikan eloknya? Rasa
penasaran mendorongku untuk melangkah ke tangga yang lebih tinggi lagi
sehingga akan semakin jelas pemandangan apa yang ada di dalamnya. Namun
sebelum kakiku menginjak tangga berikutnya, tiba-tiba ada cahaya terang
benderang menerpa wajahku. Aku tak kuat memandangnya, dan terhempas
seperti melayang, untuk kemudian sadar dari permenunganku.”
Anggraeni memeluk Ekalaya erat-erat dan tak hendak melepaskannya.
“Maafkan aku Anggraeni, terima kasih atas kesetianmu.”
“Ada apa denganmu, Kakangmas?”
“Diajeng, tugasku telah dianggap selesai, dan aku akan tinggalkan Paranggelung untuk selamanya.”
“Kangmas!”
Ekalaya bangkit berdiri menyahut gandewa pusaka, melangkah keluar
menembus kegelapan malam. Aggraeni menyadari bahwa ia tidak mungkin
untuk mencegahnya, karena apa yang dilakukan Ekalaya sepertinya bukan
atas kehendaknya sendiri. Maka yang dilakukan adalah mengikuti ke mana
suaminya melangkahkan kaki.
Setelah berjalan beberapa lama, sampailah Ekalaya di perbatasan
Paranggelung. Ekalaya menebarkan pandangannya ke segala arah. Dan
tampaklah tubuh ringan berkelebat mendekati Ekalaya.
“Harjuna!”
“Engkau memenuhi tantanganku Ekalaya.”
Kemudian tanpa bicara lagi, keduanya mengambil jarak, bersiap untuk berperang tanding.
Harjuna sebagai sang penantang mempersilakan Ekalaya melepaskan
senjata terlebih dahulu. Segeralah Ekalaya memasang anak panah dan
menarik gandewanya. Gandewa pusaka itu bercahaya, menerangi
sekelilingnya. Harjuna memandang tajam, memusatkan kesaktiannya
menghadapi serangan Ekalaya. Namun Harjuna heran dengan apa yang
dilihatnya. Tangan Ekalaya bergetar tak beraturan, sehingga menyebabkan
arah bidikannya kurang tepat sasaran.
“Ekalaya, jangan meremehkan aku, seranglah aku dengan sungguh-sungguh.”
“Jika aku meremehkanmu aku tidak mungkin datang memenuhi tantanganmu
dalam keadaanku yang seperti ini,” jawab Ekalaya sembari menunjukkan
tangan kanannya yang tanpa ibu jari.
“Apa yang terjadi dengan ibu jari tanganmu?”
“Bapa Durna telah memotongnya.”
Bagai disambar geledhk Harjuna terkejut mendengar jawaban Ekalaya.
“Jadi.. jadi ibu jari yang menempel di ibu jari tanganku ini ibu jarimu?!”
Harjuna menunjukkan jari tangannya yang berjumlah enam.
Ekalaya tak kalah terkejutnya. Ia tidak mengira bahwa pusaka Cincin
Mustika Ampal yang dipersembahkan dengan tulus kepada Sang Guru Durna
telah menempel pada musuh bebuyutannya.
“Baiklah Harjuna! Kini saatnya telah tiba, giliranmu menyerang aku.
Aku semakin mantap bahwa pusakaku Mustika Ampal pemberian Sang Hyang
Pada Wenang itulah yang akan mengantar aku ke pangkuanNya. Harjuna,
engkau adalah musuhku, engkau adalah sesamaku, dan engkaulah yang
mendapat tugas untuk menyempurnakan hidupku. Terima kasih Harjuna.
Lakukanlah!”
Sementara itu, Aswatama yang mengikuti kedua sahabatnya ke
Paranggelung, ditempatkan di ruang tengah Baluwerti. Di sini Aswatama
merasa lebih dihargai dibandingkan dengan di Sokalima atau di
Hastinapura. Oleh Ekalaya ia diperkenalkan sebagai sahabat raja,
sehingga tentu saja para pejabat negeri dan terlebih rakyat Paranggelung
sangat menghormati Aswatama. Ada sebuah paradigma baru baginya, agar
seorang raja tidak mabuk kuasa, tetapi penuh perhatian kepada rakyatnya,
dan dengan tulus mencintai rakyatnya.
Kepergian Aswatama tanpa pamit ke Paranggelung adalah merupakan
ungkapan sikap ketidaksetujuannya atas tindakan Drona bapaknya. Ada
perasaan kecewa yang amat dalam, mengapa bapanya telah tega mencelakai
Ekalaya. Karena dengan memotong ibu jari Ekalaya, artinya memotong
harapan hidupnya. Lagi pula ia menilai bapanya adalah seorang guru yang
pilih kasih. Lebih mengasihi Harjuna.
Di malam itu, entah apa yang menyebabkan Aswatama gelisah dan tidak
dapat segera tidur. Perasaannya mendorong-ndorong untuk bangun dan
melangkah ke luar Baluwerti. Inikah kegelisahan itu? Ketika Aswatama
berada di regol halaman, dilihatnya Ekalaya dan Anggraeni berjalan
dengan sangat ringan, seperti terbang ke arah luar kota raja. Aneh ya,
ada apa dengan mereka berdua? Malam-malam begini, tanpa pengawalan,
seorang raja dan prameswarinya meninggalkan keraton dengan diam-diam.
Timbul rasa khawatir yang berlebihan, ketika tiba-tiba saja Ekalaya dan
Anggraeni hilang di telan gelapnya malam. Tidak salahkah mataku
memandangnya? Benarkah mereka Ekalaya dan Anggraeni? Aswatama penasaran,
dengan hati-hati diikutinya bayangan keduanya yang sudah jauh memasuki
pekatnya malam.
Kembali ke perbatasan, Harjuna termangu. Busur pusaka yang telah
dipegangnya tidak juga segera ditarik. Tangan kanannya bergetar tak
beraturan. Ia merasa bersalah setelah mengetahui bahwa ibu jari yang
menempel ini adalah ibu jari Ekalaya, musuh utamanya. Jika pun dalam
perang tanding kali ini Harjuna menang, apakah arti kemenangan itu?
Gagahkah seorang kesatria dapat mengalahkan musuhnya dengan senjata
hasil rampasan dari musuh yang bersangkutan?
“Harjuna, lepaskan segera panah itu. Jangan merasa bersalah bahwa
engkau telah merampas pusakaku. Dan jangan ragu menggunakan pusaka
Mustika Ampal untuk mengalahkan aku. Karena sesungguhnya hanya dengan
Cincin Mustika Ampal itulah engkau dapat mengalahkan aku. Bukankah
engkau sendiri mengakui bahwa sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima yang
engkau kuasai, tidak mampu mengalahkan aku? Maka segera tariklah Gandewa
itu. Inilah kesempatan yang engkau miliki untuk memenangkan
pertandingan.”
Apa yang dikatakan Ekalaya memang benar, tetapi hal tersebut membuat
hati Harjuna panas. Ditambah lagi pada saat itu Harjuna sempat melirik
Anggraeni, istri Ekalaya, yang kecantikannya sempurna, menyapa dengan
penuh persahabatan orang yang baru datang, yaitu Aswatama. Entah apa
yang muncul di hatinya, tetapi yang jelas Harjuna tidak senang melihat
Anggraeni bergaul akrab dengan Aswatama. Jika mau berkata jujur, sejak
pertama Harjuna melihat Anggraeni hatinya berdesir tidak karuan. Banyak
wanita cantik yang telah dijumpai di dalam hidupnya, namun tidak seperti
Anggraeni. Ia sungguh sangat menawan. Rasa terpana Harjuna ternyata
berlanjut menjadi rasa cemburu, tatkala melihat bahwa kelebihan dan
kesempurnaan Anggraeni sebagai wanita dan isteri hanya ditumpahkan
kepada Ekalaya seorang. Huh! Mentang-mentang kau Ekalaya, sepertinya di
dunia ini hanya engkau seorang yang laki-laki.
Mungkin itulah yang menyebabkan Harjuna berambisi untuk mengalahkan
Ekalaya. Sebagai penyandang gelar lelananging jagad, Harjuna tidak suka
lelanang atau lelaki lain yang berada di atasnya, baik dari kesaktian
maupun dari daya tariknya kepada wanita. Oleh karena itu selagi ada
kesempatan untuk mengalahkan saingannya yang memang sukar dikalahkan
dari segalanya, Harjuna ingin memanfatkan kesempatan tersebut dengan
sebaik-baiknya. Padahal akhirnya secara tidak langsung Harjuna
mengiyakan kata-kata Ekalaya musuhnya, “Harjuna lepaskan segera panah
itu. Jangan merasa bersalah bahwa engkau telah merampas pusakaku. Dan
jangan ragu menggunakan pusaka Mustika Ampal untuk mengalahkan aku.
Karena sesungguhnya hanya dengan Cincin Mustika Ampal itulah engkau
dapat mengalahkan aku.”
Maka kemudian Harjuna telah benar-benar menarik busurnya. Sungguh
luar biasa daya cincin Mustika Ampal yang sudah berpindah tuan tersebut.
Dari mata anak panah yang telah lepas dari busurnya itu munculah bola
api berwarna kebiru-biruan. Bola api itu semakin besar sehingga
mengakibatkan tanaman perdu yang ada di sekitarnya layu terbakar. Dengan
cepat bagai kilat dan gesit laksana petir api yang berwarna biru itu
telah menggulung Ekalaya. Bersamaan dengan kejadian itu nampak bayangan
berkelebat masuk kedalam api tersebut dibarengi dengan teriakan
Aswatama, “Anggraeni!!!”
Dalam sekejap api yang berwarna kebiru-biruan itu berubah menjadi
kehijau-hijauan, kekuning-kuningan dan jadilah cahaya putih yang terang
benderang. Dari cahaya putih bak salju itu nampaklah Ekalaya dan
Anggraeni dikelilingi para dewa-dewi yang menyambutnya tersenyum
bahagia. Rangkaian peristiwa amat menakjubkan itu hanya disaksikan oleh
Aswatama dan Harjuna. Keduanya tersadar ketika suasana kembali seperti
sebelumnya. Sisa malam itu masih menampakkan kegelapannya. Dengan cahaya
bintang keduanya mampu menatap untuk saling mengatakan bahwa baru saja
keduanya mengalami mimpi yang sama, peristiwa yang tidak bisa
diceritakan keindahannya yang baru sekali ini muncul dalam hidupnya.
Namun bagi Aswatama peristiwa yang mencengangkan itu menyisakan duka
yang amat dalam Kedua sahabat yang telah mengangkat harga dirinya,
memulihkan rasa percaya dirinya itu kini telah pergi untuk selamanya.
Aswatama kecewa kepada Durna bapanya dan juga Harjuna yang telah
bersekongkol untuk melenyapkan Ekalaya sahabatnya yang berbudi luhur
itu. Apalagi jika mengingat Anggraeni yang telah memulas hidupnya
sehingga menjadi indah dan menyenangkan, penyesalan Aswatama menjadi
sangat berat menimpa pundaknya.
“Gombal!”
Secepat kidang Aswatama lari dari tempat tersebut sambil meninggalkan
teriakan sebagai katup pembuka kesesakan hati yang menghimpitnya.
Tinggallah Harjuna termangu sendirian. Ada sedikit kelegaan karena telah
berhasil memenangkan pertandingan dengan musuh yang sukar dikalahkan.
Jika pun ada penyesalan tentunya bukan karena lenyapnya Ekalaya,
melainkan karena Dewi Anggraeni, si cantik sempurnya telah ikut lenyap.
Semilir angin yang semakin basah menandakan bahwa pagi segera tiba.
Bersamaan dengan itu terdengarlah suara kumrosak mengiringi datangnya
para prajurit dan rakyat Paranggelung yang menelusur arah sang Raja yang
dicintai pergi. Harjuna memutuskan untuk meninggalkan mereka. Ia tidak
mau lagi berurusan dengan rakyat Paranggelung. Maka dengan kesaktiannya
Harjuna telah jauh meninggalkan tempat lenyapnya Ekalaya dan Anggraeni
tanpa diketahui oleh mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar