Rabu, 12 Juni 2013

Durna mewariskan pusaka Gandewa pada Arjuna

Durna mewariskan pusaka Gandewa pada Arjuna

 
Menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru menanti.

Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.

Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.

Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.

“Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya”

“Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.”

Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.

Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.
“Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.

Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.

Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. namun pasti engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”

“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku.”

“He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.

Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”

Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.

“Terimalah pusaka ini, Harjuna”

“Bapa Guru”

“Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah.”

“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?”

“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.”

“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.”

Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.

Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.

Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna?

“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.

Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.

Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.

Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar