Bima Bothok
Warga desa Sendangkandayakan atau Kabayakan
sangat beruntung mempunyai Ibu Lurah Rara Winihan,
yang mampu membesarkan hati warganya disaat ketakutan menghantui setiap hati.
sangat beruntung mempunyai Ibu Lurah Rara Winihan,
yang mampu membesarkan hati warganya disaat ketakutan menghantui setiap hati.
Tidak seperti biasanya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi,
khususnya di rumah kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra
belum bangun. Hanya ada dua orang sekabat atau pembantu Lurah yang
sedang membersihkan meja kursi di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh,
ada satu, dua orang yang mulai berdatangan untuk bertemu dengan Lurah
Sagotra.
Sementara itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima mendapat keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang besar dan bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan hidangan istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal tersebut membuat rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak diantara mereka yang secara diam-diam mengungsi ke negara Pancala untuk meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tersebut akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para perajurit. Tetapi jika tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok negeri bagaikan desa mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
Para pengungsi yang ketemu Bima disore itu adalah mereka yang mengambil langkah untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.
Namun ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum beruntung. Walaupun telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat untuk dapat lolos dari pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih banyak daripara pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam atau jika memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan kepada Prabu Dwaka
Melihat dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat di negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan banyak waktu untuk melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang mampu mengimbangi kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela lari ketakutan.
Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yang telah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.
“Ampun Raden, hamba semua ini orang bodoh, sehingga tidak tahu bahwa pada hari ini, desa kami telah kedatangan tamu istimewa yang akan mengentaskan kami dari rasa ketakutan yang berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas kesalahan kami. Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini?”
“Namaku Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yang nomor dua.”
“Ooo Raden Bima? Pantas saja mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sekali lagi maafkan hamba yang tidak menghormat pada awal berjumpa. Sungguh kami tidak tahu sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta Hastinapura.”
“Sudahlah kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara berlebihan seperti ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari dua bungkus nasi untuk adik saya yang lelaparan.”
Dengan senang hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian bekalnya untuk adik Bima yang kelaparan.
“Dimanakah adik Raden Bima berada?”
“Diujung desa yang berbatasan dengan Gunung?”
“Ooo di Giripurwa. Apakah di rumah Resi Hijrapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi rumah itu kosong tidak berpenghuni.”
Setelah menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para pengungsi yang mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tersebut kembali menyadari bahwa jiwa mereka belum bebas sepenuhnya dari ancaman. Ketakutan mulai merambati lagi. Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan mengejar mereka dalam jumlah yang lebih besar. Maka lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanannya mengungsi ke Negara Pancala, tetapi mengikuti Bima menuju ke Giripurwa.
Siang itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan mendahului suaminya, menemui para warga yang butuh pelayanannya. Para warga yang datang pada intinya menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu ini, desa Kabayakan mendapat giliran untuk menyediakan korban bagi Prabu Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara Winihan tidak memperlihatkan kecemasan. Wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya yang tipis merah.
“Para bebahu Desa yang aku banggakan. Jangan khawatir akan hal itu. Prabu Baka boleh saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk mengambil korban manusia, tetapi kita juga punya hak untuk tidak menyediakan baginya.”
Rara Winihan memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan diatas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Sementara itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima mendapat keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang besar dan bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan hidangan istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal tersebut membuat rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak diantara mereka yang secara diam-diam mengungsi ke negara Pancala untuk meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tersebut akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para perajurit. Tetapi jika tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok negeri bagaikan desa mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
Para pengungsi yang ketemu Bima disore itu adalah mereka yang mengambil langkah untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.
Namun ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum beruntung. Walaupun telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat untuk dapat lolos dari pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih banyak daripara pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam atau jika memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan kepada Prabu Dwaka
Melihat dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat di negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan banyak waktu untuk melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang mampu mengimbangi kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela lari ketakutan.
Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yang telah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.
“Ampun Raden, hamba semua ini orang bodoh, sehingga tidak tahu bahwa pada hari ini, desa kami telah kedatangan tamu istimewa yang akan mengentaskan kami dari rasa ketakutan yang berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas kesalahan kami. Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini?”
“Namaku Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yang nomor dua.”
“Ooo Raden Bima? Pantas saja mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sekali lagi maafkan hamba yang tidak menghormat pada awal berjumpa. Sungguh kami tidak tahu sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta Hastinapura.”
“Sudahlah kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara berlebihan seperti ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari dua bungkus nasi untuk adik saya yang lelaparan.”
Dengan senang hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian bekalnya untuk adik Bima yang kelaparan.
“Dimanakah adik Raden Bima berada?”
“Diujung desa yang berbatasan dengan Gunung?”
“Ooo di Giripurwa. Apakah di rumah Resi Hijrapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi rumah itu kosong tidak berpenghuni.”
Setelah menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para pengungsi yang mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tersebut kembali menyadari bahwa jiwa mereka belum bebas sepenuhnya dari ancaman. Ketakutan mulai merambati lagi. Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan mengejar mereka dalam jumlah yang lebih besar. Maka lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanannya mengungsi ke Negara Pancala, tetapi mengikuti Bima menuju ke Giripurwa.
Siang itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan mendahului suaminya, menemui para warga yang butuh pelayanannya. Para warga yang datang pada intinya menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu ini, desa Kabayakan mendapat giliran untuk menyediakan korban bagi Prabu Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara Winihan tidak memperlihatkan kecemasan. Wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya yang tipis merah.
“Para bebahu Desa yang aku banggakan. Jangan khawatir akan hal itu. Prabu Baka boleh saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk mengambil korban manusia, tetapi kita juga punya hak untuk tidak menyediakan baginya.”
Rara Winihan memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan diatas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Mendengar penuturan mimpi Rara Winihan, para bebahu desa Kabayakan
tersebut mulai timbul keberaniannya. Mereka sepakat untuk tidak
menyediakan korban bagi Prabu Baka. Rara Winihan menyarankan agar salah
satu bebahu desa menghadap Resi Hijrapa di padepokan Giripurwa, untuk
memohon agar Resi Hijrapa berani menolak korban untuk Prabu Baka. Dua
orang bebahu desa segera berangkat menuju ke rumah Resi Hijrapa.
“Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang sengaja bersembunyi di dalam rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang sedang berbicara? Tolong Punta temui mereka, siapa tahu ada makanan yang dapat dibagikan untuk Nakula dan Sadewa. Puntadewa bergegas pergi menemui orang yang berdialog di rumah dalam. Kunthi tinggal sendirian menunggui anak kembarnya yang merengek menyedihkan. Tak lama kemudian Puntadewa datang dengan membawa sedikit makanan dan minuman. Makanan tersebut sedikit untuk ukuran orang dewasa, juga belum mencukupi untuk ukuran anak-anak. Namun makanan yang didapat dari pemilik rumah tersebut sungguh dapat menolong untuk sementara, sembari menunggu usaha Bima dan Arjuna.
Tak beberapa lama makanan yang sedikit itu segera habis. Nakula dan Sadewa masih lapar, namun sudah tidak menangis lagi. Kunthi sangat lega, ingin mengucapkan terimakasih kepada tuan rumah yang telah menyambung nyawa anak kembarnya. Dengan membawa Nakula Sadewa dan diiringi Puntadewa, Kunthi menemui si pemilik rumah yang bernama Resi Hijrapa.
“Dengan apakah kami harus membalas? Jika tidak sekarang, nanti pasti aku balas kebaikan Sang Resi. Karena jika kebaikan itu tidak aku balas, aku seperti seorang pepriman yang kerjanya ke sana-ke mari hanya untuk minta-minta.
Resi Hijrapa tersenyum getir mendengar pernyataan Kunthi. Di jaman seperti ini, masih adakah seseorang yang merasa wajib untuk membalas budi? Tentu saja semua orang tua bisa berbicara seperti apa yang dikatakan oleh ibu setengah baya tersebut, atas nama kebaikan budi, manakala anaknya dibebaskan dari bahaya kelaparan, kesakitan atau pun kematian. Namun jika bahaya kematian masih mengacam anaknya, masihkah orang tua itu mampu berbicara tentang kebaikan budi? Jikapun pernyataan ibu setengah baya tersebut sungguh-sungguh, tidak sekedar basa-basi, apakah ia dapat gantian membebaskan anaknya dari bahaya kematian? Jika dapat, tentunya gantian aku yang mebicarakan tentang kebaikan budi.
Resi Hijrapa adalah pengasuh sebuah Padepokan yang berada di wilayah Giripurwa. Ia hidup bersama isteri dan tiga anaknya. Sebelumnya, rumah besar ini menjadi pusat kegiatan cantrik-cantriknya. Namun sayang, sekarang rumah besar tersebut menjadi tidak terurus. Tidak ada lagi cantrik yang datang. Tinggal Resi Hijrapa dan keluarga yang menunggui rumah itu. Itu pun bersembunyi di ruang paling dalam, takut jika diketahui oleh perajurit Ekacakra.
Kelemahan Resi Hijrapa itulah yang menyebabkan para cantrik-cantriknya tidak lagi berguru kepada Resi Hijrapa. Mereka kecewa kepada gurunya yang takut membela para korban kekejaman Prabu Baka. Bahkan ketika Resi Hijrapa pada gilirannya diharuskan mengorbankan salah satu anaknya untuk Prabu Baka, Resi Hijrapa tidak berani menolak. Maka kecuali keluarganya, hampir semua warga giripurwa termasuk cantrik-cantriknya mengungsi ke negara Pancalradya
Oleh karenanya kedatangan enam orang asing di rumahnya membuat hati Resi Hijrapa berkurang ketakuatannya. Mereka untuk sementara waktu boleh menempati di rumah depan. Kunthi mengucap terimakasih atas kebaikannnya.
Menjelang sore hari Arjuna datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kunthi tidak berkenan dengan cerita Harjuna. Dua bungkus nasi ditolaknya, karena dua bungkus nasi tersebut didapatkannya dengan cara meminta belas kasihan dari seseorang? Aku tidak mau darah anakku akan mengalir darah seorang pepriman yang pekerjaannya meminta-minta. Harjuna diam, ia meletakan dua bungkus nasi tersebut di depan kaki Ibu Kunthi. Sebelum Kunthi mengambil tindakan mau diapakan nasi hasil dari minta-minta tersebut, Bima datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kepada Ibu Kunthi, Bima bercerita tentang para pengungsi yang memberikan sebagian dari bekalnya karena telah ditolong dan diselamatkan. Kunthi menerima dua bungkus nasi dari tangan Bimasena.
Sementara itu hampir bersamaan Nakula dan Sadewa yang masih merasa lapar segera mengambil bungkusan nasi dan kemudian memakannya. Nakula mengambil bungkusan nasi yang dibawa Arjuna sedangkan Sadewa memakan nasi yang dibawa Bimasena. Kunthi membiarkannya nasi yang dibawa Arjuna dimakan oleh Nakula. Namun hal itu merupakan hutang budi kepada orang yang memberi. Dan tentunya ia akan beruasaha membalasnya seperti yang akan dilakukan kepada Resi Hijrapa
Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang hampir
separonya terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang
berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih
berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari
suara yang paling jauh hinngga suara yang paling dekat.
Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.
Namun tidak untuk malam itu. suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah ‘ingkung’ manusia.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga sebelumnya
Seperti yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun mulai turun, tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi ‘tawur agung.” Resi Hijrapa ingin tahu apa yang mendasari keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden Rawan mengatakan dihadapan Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
“Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi santapannya, kare di keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti. Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat mengasihi adikku. Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya, lupa akan aku dan cepat pulih kembali”
“Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!”
Hampir bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur dan polos itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia telah melakukan ‘mban cindhe, mban siladan.’ Mengemban anaknya yang satu dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan siladan, sesetan bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi telah pilih kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja tidak berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa di Kalurahan Kabayakan.
“Tidaaaak! Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku saja, orang tua ‘balilu’ yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak guna”. Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar semua yang dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa untuk memperkecil bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi terang dan kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk berlaku adil kepada semua ciptaan.
Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.
Namun tidak untuk malam itu. suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah ‘ingkung’ manusia.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga sebelumnya
Seperti yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun mulai turun, tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi ‘tawur agung.” Resi Hijrapa ingin tahu apa yang mendasari keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden Rawan mengatakan dihadapan Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
“Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi santapannya, kare di keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti. Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat mengasihi adikku. Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya, lupa akan aku dan cepat pulih kembali”
“Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!”
Hampir bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur dan polos itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia telah melakukan ‘mban cindhe, mban siladan.’ Mengemban anaknya yang satu dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan siladan, sesetan bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi telah pilih kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja tidak berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa di Kalurahan Kabayakan.
“Tidaaaak! Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku saja, orang tua ‘balilu’ yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak guna”. Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar semua yang dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa untuk memperkecil bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi terang dan kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk berlaku adil kepada semua ciptaan.
Pada hari-hari yang masih tersisa, sikap Resi dan Nyai Hijrapa
berubah 180 derajat terhadap Raden Rawan. Mereka ingin menebus kesalahan
dalam mendampingi anak-anaknya. Raden Rawan telah menyadarkan kedua
orang tuanya, bahwasannya mereka telah pilih kasih dalam memperlakukan
ke tiga anaknya. Jika sebelumnya Resi Hijrapa lebih memperhatikan dan
mencintai anak sulungnya, dan Nyai Hijrapa lebih dekat dengan anak
bungsunya, sekarang mereka lebih memperhatikan Raden Rawan anak yang
lahir nomor dua.
Sesungguhnya Raden Rawan merasa risih atas perlakuan kedua orang tuanya yang berlebih. Namun ia tidak akan mengungkapkannya kepada ke dua orang tuanya. Raden Rawan sendiri ingin mengisi hari-hari terakhirnya dengan kebaikan dan kedamaian. Beberapa hari sebelum ia siap mati untuk menjadi korban keganasan Prabu Dwaka, ia berpamitan kepada beberapa teman-temanya dan beberapa orang yang ia hormati, termasuk diantaranya Lurah Sagotra dan Rara Winihan.
Di mata Raden Rawan, Rara Winihan adalah pemimpin yang luar biasa. Ia mampu memberikan semangat dan keberanian untuk mengatasi ketertindasan dan memerangi ketidak adilan. Ia peduli terhadap warganya yang mengalami kesulitan. Beberapa hari yang lalu Rara Winihan mengutus dua bebahu desa menemui ayahnya, agar menolak menyediakan korban untuk Prabu Dwaka. Namun ayahnya menolak usulan itu dengan halus. Ia tidak berani melawan Prabu Dwaka.
Keteladanan Rara Winihan itulah yang membuat Raden Rawan berani menjadi korban dengan dada membusung dan muka tengadah. Apalagi ia juga mempunyai keyakinannya bahwa keberanian dan ketulusan akan dapat menghancurkan kesewenang-wenangan.
“Aku bangga, engkau jujur dan pemberani. Terlebih engkau mempunyai keyakinan yang kuat bahwa kesewenang-wenangan akan hancur oleh keberanian dan ketulusan. Maju terus Rawan aku dan para bebahu desa Kabayakan berada dibelakangmu.”
“Terimakasih Ibu Rara, aku mohon diri.”
Hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, tinggal tiga hari lagi, Rara Winihan memutar otak, mencari strategi yang tepat untuk menghadapi Prabu Dwaka, pada saat menghidangkan korban Raden Rawan.
Ketika malam menjelang, di Kobongan Senthong tengah, Rara Winihan mendapat pencerahan. Tiba-tiba ia teringat kepada Harjuna yang mempunyai jasa luar biasa pada kehidupan rumah tangganya. Ia ingin menghadap Harjuna yang bersama keluarganya berada di rumah Resi Hijrapa. Diajaknya Ki Lurah Sagotra untuk menemui ibu dan saudara-saudara Harjuna.
Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan ditemui oleh Ibunda Kunthi dan para Putra.
“Dhuh Ibu Kunthi dan para putra, saya beserta suami, sebagai yang dituakan, mewakili seluruh warga desa Kabayakan menyampaikan terimakasih. Kedatangan Ibu dan para putra membawa berkat yang melimpah kepada warga Desa Kabayakan dan Giripurwa. Saya bersama pasangan saya telah mendapatkan berkah kerukunan itu melalui Raden Harjuna. Demikian pula beberapa warga yang mengungsi juga telah mendapatkan berkah pertolongan melalui Raden Bima. Aku meyakini bahwa Hyang Maha Agung telah menuntun Ibunda Kunthi dan para putra untuk singgah di wilayah ini dan melimpahkan berkahnya bagi seluruh warga.”
“Rara Winihan, aku dan anak-anakku adalah orang orang yang numpang makan dan tidur di tempat ini. Seharusnya kamilah yang mengucapkan terimakasih kepada semua warga Desa Kabayakan dan Giripurwa, karena mereka telah memberikan tempat dan makanan dengan ramah dan ikhlas. Aku secara pribadi mohon maaf karena telah merepotkan banyak orang.”
“Kerendahan hati seorang permaisuri Raja sungguh menakjubkan. Dengan kerendahan hati seorang ibu sejati, aku berkeyakinan bahwa Ibunda Kunthi tidak tega melihat penderitaan putra-putrinya.”
“Benar katamu Rara Winihan, aku tidak tega ketika melihat anakku kembar kelaparan. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang wanita yang lemah dan miskin.”
“Bukankah ibu tinggal memerintahkan putra-putranya yang perkasa?”
“Tetapi aku kecewa dengan Harjuna, ia hanya meminta-minta makanan kepadamu”
“Ampun Ibunda Kunthi, dua bungkus nasi bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan berkah yang ditinggalkan. Oleh karena kehadiran Raden Harjuna, aku dan suamiku boleh menikmati kebahagiaan suami isteri yang telah kami tunggu hampir setahun lamanya.”
“Jika yang terjadi adalah kebaikan, itu bukan karena Harjuna, melainkan karena kebaikan-Nya.”
“Iya Ibunda Kunthi, aku sependapat dengan Ibunda, termasuk juga berkat kebaikan-Nya yang akan dilimpahkan kepada semua warga Kabayakan dan Giripurwa melalui putra-putra Ibunda yang perkasa. Baru beberapa hari Ibunda Kunthi dan para putra tinggal di rumah ini, semakin banyak warga yang datang di tempat ini. Mereka yang telah mengetahui siapakah sesungguhnya Ibunda Kunthi dan putra-putranya, ingin meminta perlindungan atas kesewenang-wenangan Prabu Dwaka”
“Rara Winihan, aku telah mendengarnya dari keluarga Resi Hijrapa yang mendapat kewajiban mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka. Aku tidak tega ketika Rawan akan dikorbankan. Aku telah membujuk anakku Bima untuk menolong keluarga Hijrapa, dengan menjadi silih korban. Namun Bima belum menyanggupi, dengan alasan karena Resi Hijrapa tidak memintanya.”
Kecerdasan dan kecekatan Rara Winihan telah menangkap sebuah peluang yang sangat penting untuk sebuah pengharapan yang membebaskan. Bermula dari rasa iba Ibunda Kunthi terhadap ketakutan dan penderitaan keluarga Resi Hijrapa, khususnya Raden Rawan yang akan dikorbankan. Ibu Kunthi membujuk Bima agar mau menolongnya. Bima mau menolongnya tetapi dengan syarat, agar Resi Hijrapa-lah yang meninginkan pertolongan tersebut. Ibunda Kunthi memakluminya kepada anak nomor dua ini. Orangnya sederhana dan jujur, tentunya kalau tidak diminta, ia sungkan untuk menawarkan kemampuannya, karena hal tersebut akan menggiring kepada kesombongan.
Rara Winihan tahu, tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakan jika semuanya akan menjadi beres, yaitu Resi Hijrapa mau datang memohon belaskasihan kepada Kunthi untuk menolongnya.
“Ibunda Kunthi, jika Resi Hijrapa tahu siapakah sesungguhnya orang-orang yang menumpang di rumahnya, tentu tanpa diminta pun ia akan tergopoh-gopoh bersujud meminta perlindungan. Namun karena saat ini ia sedang mengalami tekanan yang luar biasa, Resi Hijrapa tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya. Baginya Ibunda Kunthi dan para putra sebatas seorang penggembara yang numpang sementara di rumahnya. Sehingga Resi Hijrapa beranggapan bahwa Ibunda Kunthi dan para putra tidak dapat menolongnya. Oleh karenanya biarlah aku yang menghadap Resi Hijrapa untuk mengatakan hal ini.”
Tanpa menunggu jawaban Ibunda Kunthi, Rara Winihan undur diri, dan segera menemu Resi Hijrapa.
Rara Winihan tidak mau membuang waktu, setelah mohon diri, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Harjuna dan sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia menemui Resi Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan mendahului keluar menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu mengalami sukacita didatangi Ibu Lurah dan Bapak Lurah yang sangat ia kagumi. Apalagi di hari-hari terakhir sebelum ia dikorbankan, kehadiran seseorang yang menjadi idola dapat menjadi kekuatan dan penghiburan.
“Bapa Resi, dua bebahu desa yang kami utus menghadap Bapa Resi melaporkan bahwa Bapa Resi tetap akan mengorbankan Rawan, tidak adakah jalan lain?
“Kami tidak menemukan jalan lain. Kecuali jika kami menolak. Dan itu fatal akibatnya, seluruh keluargaku akan ditumpas.”
“Apakah tidak meminta tolong”
“Orang yang mau menolong kami artinya ia mau menjadi silih korban anakku. Saya tidak percaya bahwa ada orang yang bersedia menolong kami dengan berani menggantikan anakku menjadi santapan Prabu Dwaka.”
“Bapa Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seorang janda beserta ke lima anaknya yang numpang di rumah Bapa Resi?”
“Ibu Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah menanyakan siapakah mereka sesungguhnya.”
“Bapa Resi, merekalah yang akan menjadi dewa penolong, jika Bapa mau menemuinya untuk memohon pertolongan.”
“Ibu Lurah, siapakah sesungguhnya mereka?”
“Mereka adalah Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima”
“Benarkah Ibu Lurah?
Rara Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan matahari yang tiba-tiba muncul memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa berseri. Secercah harapan baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-gopoh, Resi Hijrapa berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-anaknya menumpang. Rara Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan mengikutinya.
Sesampainya di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh dan menghaturkan sembah di depan kaki Kunthi, untuk memohon pertolongan.
“Ibu Prameswari maafkan hamba si tua bangka yang bodoh ini, jauhkan dari tulah sarik, dari kutuk dan dari hukuman, karena kesalahan hamba. Hamba telah memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta Hastinapura dengan sangat tidak layak.”
“Bapa Resi janganlah merendahkan dan menghinakan dirimu sendiri, duduklah, dan bicaralah dengan wajar, katakanlah apa yang engkau inginkan dari kami.”
“Dhuh Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku di rumah ini tidak sesuai denga kedudukan Sang Ibu Kunthi beserta para putra.”
“Sudahlah Bapa Resi. Bapa Resi tidak bersalah. Kamilah yang telah merepotkan Bapa resi dan keluarga. Tetapi bukankah ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. katakanlah Bapa Resi”
Karena kehalusan budi dan kerendah hati dan belas-kasih Sang Ibu Kunthi, Resi Hijrapa memberanikan diri untuk menceritakan masalah berat yang dihadapi oleh keluarganya dan kemudian memohon pertologannya. Dewi Kunthi yang sudah mendengar dan mengetahui semuanya, bahkan sudah berembug masalah ini dengan Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa agar langsung meminta bantuan kepada anaknya yang nomor dua yang bernama Bimasena. Karena dialah orangnya yang tepat untuk melakukan pertolongan ini.
Bima adalah sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap memberikan pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan, apalagi jika yang bersangkutan datang memohon langsung kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia melakukan pertolongan. Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan sebagai ganti Rawan anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas dari beban berat yang menindihnya.
Sesaat setelah Bima menyanggupkan diri menjadi sesaji yang akan dipersembahkan kepada Prabu Dwaka, datang serombongan perajurit Ekacakra dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah perajurit yang kemarin lusa mencegat para pengungsi. Mereka melacak keberadaan seorang tinggi perkasa yang telah menolong para pengungsi dan mengalahkannya. Ketika kemudian mereka menemukan orang yang dimaksud yaitu Bima di rumah Resi Hijrapa, maka kemudian mereka datang dengan maksud menawan Bima. Bima dengan dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Namun sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara Winihan menyerukan kepada pemimpin perajurit Ekacakra, agar mau bersabar. Kecerdasan Rara Winihan berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit untuk membatalkan niatnya nenangkap Bima. Dengan alasan bahwa Bima telah menyanggupkan diri sebagai korban untuk Prabu Dwaka.
”Di rumah ini segala sesuatunya telah disiapkan. Jika pimpinan perajurit mau menangkap Raden Bima dan Raden Bima melawan, maka akan terjadi pertempuran. Jika pertempuran terjadi di rumah ini maka semuanya yang ada bakal rusak dan hancur. Termasuk juga ubarampe sesaji yang telah dipersiapkan. Jika hal ini benar-benar terjadi, artinya para perajurit telah menghancurkan persiapan sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon korbannya yaitu Raden Bimasena. Jika pemimpin perajurit akan nekat memaksakan kehendak, aku sebagai lurah di wilayah ini akan menghadap raja dan menghaturkan bahwa calon sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit Ekacakra sendiri.”
Mendengar seruan Ibu Lurah yang lantang tersebut, pemimpin perajurit tanpa berucap sepatah kata pun membalikan kudanya bersama dengan pasukannya meninggalkan rumah Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap orang tinggi perkasa dianggap mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang tahun yang akan diadakan besok lusa.
Kabar kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan Rawan cepat tersebar di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa. Mereka berdatangan di rumah Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya ada Lurah Sagotra dan Rara Winihan, semakin mantaplah mereka bergabung.
Ketika tiba saatnya, hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, Resi Hijrapa telah siap dengan sesajinya. Rara Winihan berperan besar dalam pembuatan sesaji. Ia telah menutupi badan Bima dengan parutan kelapa muda yang dimasak bothok.
Pagi itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi Hijrapa, menuju keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yang mengiringi sesaji dari Giripurwa adalah : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi Hijrapa, warga Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan keberadaan Bima diantara mereka, mereka tidak takut, karena mereka percaya dengan nama besar Pandhawa Lima dan sebagian dari mereka telah melihat kesaktian Bima waktu menolong para pengungsi.
Sesampainya di balairung keraton Ekacakra, sesaji dari Giripuwa yang berupa Bima dibumbu bothok menarik perhatian banyak orang termasuk Sang Prabu Dwaka, karena sosok Bima yang tinggi besar sepadan dengan Prabu Dwaka.
Setelah segalanya siap, upacara sesaji dimulai dengan pemukulan gong beri tiga kali. Selesai gaung gong yang ketiga, mereka mulai melakukan pembakaran aneka macam daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah membumbungnya asap bakaran, Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati korban mausia yaitu Bima Bothok. Baru setalah langkahnya tertuju kepada Bima Bothok, perutnya mulai keroncongan, dan air liurnya mengumpul di ujung lidahnya.
Sitihinggil Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka mulai merasa lapar mencium bau asap dari daging yang dibakar. Terlebih ketika melihat Bima yang diberi bumbu bothok, ia mengarahkan langkah dan pandangannya menuju korban yang di sajikan dari Giripurwa. Selangkah demi selangkah kaki yang besar dan berat itu menginjak bumi, dan menimbulkan getar disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para pengiring mulai meningkatkan kewaspadaan. Kecuali Bima dan Arjuna, jantung mereka berdetak semakin cepat merasakan getar tanah yang ditimbulkan oleh langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir dari ujung kaki dan telapak tangan mereka.
Prabu Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima yang berbadan tinggi besar, berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok kesukaannya. Karena tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak memperhatikan rangkaian korban yang lain yang telah disiapkan oleh Rara Winihan di dalam sebuah gerobak. Tangan Prabu Dwaka yang besar kuat, penuh dengan bulu, mendulit bumbu bothok di tubuh Bima.
“Hmm enaaak”
Bima tidak gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi korban untuk menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu Dwaka dihadapannya dengan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh yang menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.
Prabu Dwaka tidak sabar, dengat cepat ia menyahut Bima. Jika pada korban sebelumnya, baik yang bulanan maupun yang tahunan, korban hanya dapat menjerit dan kemudian diam, kali ini tidak ada jeritan. Bima mampu menepis tangan Prabu Dwaka dengan kekuatan yang lebih besar. Prabu Dwaka terkejut bukan kepalang, merasakan kekuatan besar yang keluar dari calon koorbannya. Ulah Bima yang belum pernah dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru meningkatkan selera Prabu Dwaka. Ia dengan tawa sinisnya mengelilingi Bima, ingin mempermainkan calon korbannya sebelum disantapnya.
Namun yang apa yang terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu Dwaka. Bima dengan cepat dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu Dwaka. Prabu Dwaka senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban yang disajikan kali ini bukan orang sembarangan. Prabu Dwaka menatapnya Bima dengan kemarahan puncak. Bima tidak mau kalah, ia balas menatapnya sembari berdiri teguh, seteguh batu karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka menerkam Bima. Kali ini Bima menghindar. Prabu Dwaka semakin marah. Dan sebentar kemudian terjadilah pertepuran yang dahsyat. Dikarenakan keduanya tidak merasa leluasa bertempur di pelataran sitihinggil, maka tanpa kesepakatan pertempuran bergeser keluar dari sitihinggil menuju ke alun-alun.
Korban besar tahunan menjadi kacau. Para pelaku korban, petugas jaga, para perajurit dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-sama menyaksikan pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke alun-alun untuk menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.
Para pajurit yang setia kepada raja, ikut geram kepada Bimasena. Namun dibalik kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima untuk melawan raja mereka. Karena selama mereka mengabdi kepada Prabu Dwaka, belum pernah ia menjumpai seseorang yang berani kepada raja mereka. Barulah sekarang untuk yang pertamakali ia menyaksikan ada orang yang berani melawan raja mereka dengan tidak menampakkan ketakutannya.
Walaupun diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian Bima ketika menolong para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya menyaksikan kehebatan Bima saat melawan Prabu Dwaka.
Sementara itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yang selama ini tidak senang dengan raja mereka, sangat berharap agar Bima berhasil memenangkan pertempuran.
Hari semakin siang, matahari telah hampir berada di tengah. Pertempuran berlangsung semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Debu mengepul, mengelilingi dan menutupi Prabu Dwaka dan Bimasena. Para penonton tidak dapat lagi melihat keduanya dengan jelas. Namun melalui suara yang ditimbulkan mereka dapat ikut merasakan bahwa pertempuran tersebut semakin dahsyat. Oleh karenanya para penonton semakin mundur dengan perasaan cemas, sehingga tempat bertempur pun menjadi semakin luas.
Beberapa saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-lahan pergi dibawa angin. Dari kejauhan, tampaklah Bimasena dan Prabu Dwaka berdiri berhadapan. Rupanya mereka sepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengatur napas mereka masing-masing. Tidak beberapa lama kemudian, pertempuran dilanjutkan kembali.
Prabu Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban, bertempur dengan membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan, ia mempunyai ilmu tingkat tinggi yang jarang ada tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi karena tidak dapat segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena menjadi semakin tenang dan mantap. Sehingga dengan demikian ia dapat dengan jelas melihat kelemahan daya pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan Bimasena telah disiapkan. Dan pada saat yang tepat, Bimasena berhasil menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Dwaka.
Terdengar suara teriakan menggelegar dan disusul dengan robohnya tubuh Prabu Dwaka yang tinggi besar. Sorak membahana gemuruh menyambut kemenangan Bimasena. Beberapa pengawal yang setia Raja mengarahkan mata tombaknya ke dada Bimasena, namun sebelum Bimasena luka, Arjuna dengan tangkas menarik busur dan melepaskan anak panahnya dalam jumlah banyak. Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yang lain tergetar hatinya, melihat kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan niatnya membela rajanya, dan meyerah dihadapan Bimasena.
Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yang sudah tidak bernyawa dipisahkan, yang satu ditanam di gunung gamping barat yang satu ditanam di gunung gamping Timur. Menurut kepercayaan, hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan energi negatif yang akan ditimbulkan oleh raga Prabu Dwaka.
Pada puncak korban tahunan kali ini, tidak ada lagi kawula yang dikorbankan, melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang menjadi korban.
Prabu Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula Ekacakra telah dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan pengikut yang selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam keberadaannya. Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika rajanya ada dalam bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai tuannya, namun dengan cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka, Bima sendiri juga telah bersiaga untuk menghadapi para pengawal dan pengikut Prabu Dwaka yang tidak terima akan kematian Rajanya. Namun tidak ada lagi yang menyerang Bima setelah serangan pengawal lapis pertama gagal total. Mereka keder juga menyaksikan kesaktian Bima yang menggetarkan.
Ditambah lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa terdapat orang sakti selain Bima, yang ahli menggunakan senjata panah. Kesaktiannya dalam memanah telah ditunjukkan ketika membendung serangan para pengawal raja lapis pertama yang hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti tersebut adalah adik Bimasena yang bernama Arjuna. Ia memang sengaja mennunjukan kesaktiannya agar yang lain jera, sehingga dengan demikian akan mengurangi korban.
Kesaktian memanah yang ditunjukan Arjuna dengan melumpuhkan puluhan korban dalam waktu sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima. Ditambah pula dengan pusaka ali-ali ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung, membuat ilmu memanah Arjuna tidak tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis dua berniat melawan Bima dan Arjuna dapat dipastikan nasibnya akan sama seperti pengawal lapis pertama yang dalam sekejap roboh bersamaan.
Untung saja gebrakan awal Arjuna berhasil membuat nyali para pengawal raja menciut, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melawan Bima dan Arjuna. Karena sudah tidak punya nyali untuk melawan, para pejabat, pengawal dan pengikut setia Prabu Dwaka kini sudah tidak setia lagi, mereka meletakan senjata dan menyerah.
Sorak sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan. Korban bakaran yang sedianya diperuntukan untuk kehormatan dan kekuasaan raja menjadi korban sukacita dan pesta kemenangan rakyat Ekacakra. Bimasena dielu-elukannya dan juga Arjuna. Hal yang lebih membanggakan dirasakan oleh rombongan korban dari Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir di wilayahnya dan bersedia menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya mampu menumbangkan angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka di gunung Gamping yang beku.
Gugurnya Prabu Baka membuat keadaan negeri Ekacakra secara keseluruhan berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya rasa takut dan suasana mencekam melanda setiap hati kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur, suasana berubah menjadi sukacita dan lepas bebas dari takut dan cemas. Seluruh rakyat menjadi tenteram karenanya.
Dengan perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan kata-kata Rara Winihan yang memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan di atas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Dan benarlah, makna yang terselubung dalam mimpi, bahwa jika orang yang bermimpi berjalan di atas air, akan mendapat kabegjan anugerah yang luar biasa. Kini mimpi Rara Wunihan telah menjadi kenyataan.
Selain Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar. Banyak kawula Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tersebut menempati jabatan yang lebih tinggi lagi. Namun Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi malu, karena sesungguhnya ia hanyalah seorang yang tidak berarti dibandingkan dengan Bimasena dan Arjuna, atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra, Kanca Wingking yang seharusnya hanya berada di wilayah belakang.
Ambisi para bebahu yang ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan yang lebih tinggi, justru telah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang ia jalankan selama ini telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan peran yang seharusnya ia jalani, yaitu sebagai isteri Lurah, tidak lebih.
Pada keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa, tak satupun rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang nampak adalah wajah-wajah ceria yang terbebas dari kecemasan. Dalam kesempatan tersebut, Resi Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena dan Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan kemudian diikuti oleh Rawan, Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan menyatakan diri, jika kelak terjadi perang besar antara Pandhawa dan Korawa yang disebut Bharatayudha mereka siap membantu Pandhawa sebagai tawur awal pada perang tersebut. Kunthi dan Pandhawa sangat terharu merasakan ketulusan yang dinyatakan mereka untuk siap berkorban bagi Pandhawa.
Sepeninggal Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja. Untuk sementara sebelum sampai kepada orang yang paling berhak menduduki tahta, kebijaksanaan kerajaan dipasrahkan kepada Prabu Durpada yang memerintah di negara Pancala. Karena wilayah Ekacakra bergandengan dengan wilayah Pancala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar